Total Tayangan Halaman

Rabu, 01 Januari 2014

GAYA BAHASA VISUAL KARTUN EDITORIAL*

Oleh:
Noval Sufriyanto Talani, S.Sn, M.Ds, M.Si
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
talani_121179@yahoo.co.id / rifandary.talani@gmail.com


Abstrak

Realitas media kontemporer menujukkan bahwa penggunaan kartun diberbagai rubrik untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada khalayak telah menjadi sebuah kelaziman. Media tidak lagi berkomunikasi secara verbal melalui tulisan tetapi juga berkomunikasi secara visual melalui kartun. Pemanfaatan kartun sebagai bahasa visual memudahkan media mengkomunikasikan sesuatu baik untuk mengomentari, menyindir, dan mengkritisi suatu peristiwa.  Bahasa visual adalah bahasa yang digunakan media massa untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dengan memanfaatkan gambar termasuk kartun editorial. Tulisan ini membahas lima gaya bahasa visual kartun editorial, yakni gaya bahasa visual ironi, gaya bahasa visual satire, gaya bahasa visual parodi, gaya bahasa visual tragedi, dan gaya bahasa visual sarkasme. Masing-masing gaya bahasa visual memiliki ciri khas dalam menyampaikan pesan. Setiap kartun editorial tidak hanya terdapat satu gaya bahasa visual melainkan juga menggabungkan beberapa gaya bahasa visual untuk menyampaikan sebuah pesan meskipun tetap ada gaya bahasa visual yang lebih dominan.

Kata Kunci: Bahasa Visual, Kartun Editorial, Media Massa

*Artikel ini dipresentasikan pada acara Seminar Besar Nasional Komunikasi yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) di Padang, 26-27 November 2013. Dimuat pada Prosiding hal 694-701.



PENDAHULUAN

Tulisan ini merupakan hasil pengembangan dari penelitian penulis yang berjudul “Ilustrasi Korupsi dalam Rubrik Opini Kompas Periode 2011: Sebuah Tinjauan Wacana Visual”. Domain penelitian tersebut adalah seni rupa dan desain karena menjadikan ilustrasi (kartun) sebagai objek kajian. Dari hasil penelitian, diketahui makna dan relasi ilustrasi dengan artikel serta posisinya dalam rubrik Opini Kompas, mengetahui nilai informasi dalam ilustrasi melalui struktur representasi leksikal yang digunakan, mengetahui dan memahami proses interpretasi khalayak terhadap ilustrasi. Selain itu, penulis juga menemukan gaya bahasa visual kartun, model proses konstruksi wacana visual, dan struktur diskursif korupsi.
Walaupun domain kajian adalah seni rupa dan desain tetapi secara luas penelitian di atas termasuk kajian media dan komunikasi sebab kartun yang dikaji pada dasarnya adalah sebuah pesan media massa dalam bentuk visual. Untuk memudahkan pembahasan, studi kasusnya adalah kartun editorial Kompas yang dimuat dalam rubrik Opini. Pemilihan kartun editorial Kompas karena selain konsisten memuat kartun editorial, Kompas adalah koran nasional yang memiliki jutaan pembaca sehingga pemberitaannya cukup berpengaruh pada pembentukan pengetahuan khalayak terhadap peristiwa yang digambarkan (lihat Talani, 2012:200). Media massa berpengaruh bukan hanya sebagai pembawa pesan yang ditujukan kepada khalayak melainkan pula sebagai produsen dan penyebarluasan pesan. Joshua Meyroitz (dalam Littlejohn dan Foss, 2009: 407)  mengemukakan secara metafora bahwa media terdiri dari tiga hal, yakni konten atau media pembawa pesan yang netral, bahasa atau cara media menyampaikan pesan maupun menampilkan konten termasuk layout, dan lingkungan atau kemampuan yang dimiliki media dalam menyebarkan pesan.
Kartun menjadi sarana media massa menyampaikan pesan kepada khalayak. Selain istilah kartun, istilah karikatur juga digunakan untuk menyebut gambar yang menjadi opini media. Seperti dikutip Sunarto (2005:5) dari Sibarani bahwa karikatur mengandung arti sebagai gambar sindir (satire) serius sedangkan kartun hanyalah gambar lucu. Bentuk gambar yang sarat muatan kritik sosial dan di dalamnya terdapat unsur kelucuan, anekdot, atau humor yang menjadi opini redaksi media adalah arti lain dari karikatur (Sumadiria, 2009: 3). Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah kartun yang didefinisikan sebagai pesan visual media massa yang mengomentari, menyindir, dan mengkritisi suatu peristiwa melalui gambar dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, dan humor. Kartun editorial merupakan kartun yang digunakan sebagai opini redaksi media baik untuk mengomentari, menyindir maupun mengkritisi suatu peristiwa selain artikel tajuk rencana.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kartun editorial merupakan bahasa media untuk menyampaikan pesan kepada kahalayak. Pesan yang disajikan bukan semata-mata ungkapan lucu, anekdot atau humor tetapi juga menjadi komentar, kritik bahkan sindiran. Mengungkap gaya bahasa visual kartun editorial adalah penting untuk memahami cara media menyampaikan pesan kepada khalayak melalui kartun. Kemampuan media membentuk opini masyarakat adalah bukti kedigdayaan media dalam menafsir dan menyampaikan informasi. Media bukan saja berperan sebagai penyampai informasi tetapi memiliki kedudukan yang sama sebagai penafsir informasi (Rivers dkk., 2008: 228). Dalam menghadapi Pemilu 2014 dengan kontestasi politik yang semakin memanas menuntut peran media sebagai salah satu pilar demokrasi mampu mengawal terselenggaranya Pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat melalui penyebaran informasi yang sehat dan benar.


PEMBAHASAN

Bahasa Visual
Bahasa visual didefinisikan oleh Horn (2001:1) sebagai integrasi yang kuat dari kata-kata dan elemen visual dan memiliki karakteristik yang membedakannya dari bahasa alami sebagai alat komunikasi yang terpisah serta subjek khas penelitian. Dalam perjalanan sejarah kemunculannya, bahasa visual tidak terlepas dari sejarah penemuan tanda-tanda piktograf yang menjadi cikal bakal penemuan alfabet sampai pada penemuan teknologi cetak yang membangun tradisi cetak mendorong penyebaran informasi menjadi masif. Penyebutan bahasa visual mungkin dikaitkan dengan sebutan bahasa verbal-visual dimana sebuah sintaks, semantik, dan pragmatik bahasa visual telah dijelaskan. Dimana deskripsi, pemahaman, dan penelitian tentang bahasa visual tumpang tindih dengan penyelidikan ilmiah visualisasi dan multimedia (Horn, 2001:1). Penggunaan ilustrasi untuk kepentingan propaganda membawa peran penting bagi penggunaan ilustrasi untuk berbagai kepentingan seperti periklanan, mode pakaaian, kover rekaman dan buku, majalah dan surat kabar, rumah, kartu undangan, dan ilustrasi untuk medis dan teknik (Arntson dalam Talani, 2012:45-46). Ilustrasi menjadi bahasa lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Ilustrasi majalah dan surat kabar selain berfungsi sebagai elemen estetis untuk artikel, juga untuk menyampaikan informasi tertentu dalam bentuk infografis. Karya ilustrasi lain yang sering muncul di majalah dan surat kabar adalah kartun.
Sama halnya dengan bahasa dalam konteks linguistik, bahasa visual juga memiliki fungsi representasi, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Olehnya itu, Neil Cohn mengemukakan bahwa kita memiliki bahasa verbal suara, bahasa yang ditandai gerak tubuh, dan bahasa visual dari imej. Pernyataan Cohn didasarkan pada hipotesis bahwa setiap kali mengungkapkan salah satu konseptual modalitas berlangsung pada sekuen struktur aturan yang terkait (tata bahasa), yang terbentuk menjadi bahasa (Talani, 2012:47). Penjelasan Cohn mengenai bahasa visual lebih spesifik pada leksikal visual. Di mana berbagai tingkat representasi dalam bahasa visual untuk sampai pada pemahaman umum mengenai apa makna yang dimiliki unit-unit leksikal visual. Pengungkapan makna dalam bahasa visual lebih jauh dijelaskan Gunter Kress dan Theo van Leeuwen dalam bukunya “Reading Images: The Grammar of Visual Design”. Dalam buku tersebut Kress dan van Leeuwen memberikan deskripsi tentang struktur komposisi utama dalam membangun makna visual, di mana mereka memperlakukan bentuk-bentuk komunikasi visual sama seperti bentuk-bentuk linguistik.
Komunikasi dalam realitas media kontemporer mendorong pentingnya memahami komunikasi visual agar kita dapat mempelajari apa yang sedang dikomunikasikan oleh sebuah objek visual dan desain visualnya (Kress dan van Leeuwen dalam Talani, 2012: 49). Sebagai sebuah objek visual, kartun editorial media massa bukan hanya sekedar penghias teks dalam berbagai rubrik, tetapi juga dapat mengomunikasikan sesuatu kepada khalayak. Bahasa dan komunikasi visual keduanya dapat digunakan untuk mewujudkan sistem dasar yang sama dari makna yang membentuk budaya, tetapi setiap melakukannya melalui bentuk-bentuk yang spesifik, melakukannya secara berbeda, dan mandiri. Bahasa dan komunikasi visual mengekspresikan makna yang dimiliki dan diatur oleh budaya dalam satu masyarakat; proses semiotik, meskipun-bukan berarti semiotik, sangat mirip, dan ini menghasilkan tingkat kesesuaian yang cukup antara keduanya. Pada saat yang sama, setiap media memiliki kemungkinan sendiri dan keterbatasan makna. Tidak semua yang dapat diwujudkan dalam bahasa juga dapat diwujudkan melalui gambar, atau sebaliknya.
Menurut Kress dan van Leeuwen perbedaan utama antara bahasa (verbal) dan bahasa visual adalah pemahaman bahwa bahasa sebagai sesuatu yang melekat pada bentuk dan makna gambar diambil dari konteks, makna bahasa secara “sadar” dan makna gambar “tanpa disadari” (Talani, 2012:49). Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa bahasa visual adalah bahasa yang digunakan media massa untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dengan memanfaatkan gambar termasuk kartun editorial.

Gaya Bahasa Visual Kartun Editorial
              Berdasarkan hasil penelitian, terdapat lima gaya bahasa visual yang digunakan untuk menyampaikan pesan, yakni gaya bahasa visual ironi, gaya bahasa visual satire, gaya bahasa visual parodi, gaya bahasa visual tragedi, dan gaya bahasa visual sarkasme. (Talani, 2012:200). Masing-masing gaya memiliki perbedaan pada tata cara pengungkapan pesannya melalui visual dan terkadang dalam satu kartun editorial tidak hanya menggunakan satu gaya bahasa visual tetapi memadukan beberapa gaya bahasa meskipun tetap ada gaya bahasa visual yang dominan.


a.      Gaya bahasa visual ironi
Gaya bahasa visual ironi adalah gaya bahasa yang menggunakan tata ungkap visual yang menggambarkan dua hal yang bertentangan. Gaya bahasa visual ini seperti tampak pada gambar berikut:
Gambar 1. Gaya Bahasa Visual Ironi Kartun Editorial
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
(1) Kartun Editorial karya GM Sudarta. Kompas Edisi 2 April 2011 (diakses 24/02/2012)
(2) Kartun Editorial karya Jitet. Kompas Edisi 16 November 2011 (diakses 18/11/2011)


Pada gambar (1) di atas gaya bahasa visual ironi diungkap dengan menggunakan visual gedung pencakar langit yang berdiri disamping gedung MPR/DPR/DPD RI dan di bawahnya terdapat rumah kumuh  yang terbuat dari kayu. Kartun editorial ini mengomentari sekaligus mengkritisi rencana DPR untuk membangun gedung baru disaat rakyat masih terlilit kemiskinan. Sindiran media terhadap rencana tersebut diungkap melalui tulisan yang terdapat dalam kartun editorial. Sedangkan pada gambar (2) tata ungkap visual mobil truk yang bertuliskan “Freeport” sedang membawa emas kontra visual figur atlet yang memegang medali emas adalah gaya bahasa visual ironi yang tergambar dalam kartun editorial. Kartun editorial tersebut mengkomunikasikan sebuah ironi yang sedang terjadi disaat para atlet bersusah payah mendapatkan medali emas di ajang SEA Games disisi lain Freeport dengan mudah mendapat dan membawa emas yang banyak dari bumi Indonesia.

b.     Gaya bahasa visual satire
              Gaya bahasa visual satire adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir atau mengejek suatu keadaan atau seseorang melalui tata ungkap visual (lihat gambar 2).
Gambar 2. Gaya Bahasa Visual Satire Kartun Editorial
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
(1) Kartun Editorial karya Jitet. Kompas Edisi 13 Juli 2011 (diakses 18/02/2012)
(2) Kartun Editorial karya Jitet. Kompas Edisi 19 Oktober 2011 (diakses 20/11/2011)

Kartun editorial di atas (gambar (1)) mengungkap keadaan seperti disebuah terminal. Ditengah kepadatan penumpang dalam bus dan orang-orang yang mengantri, sopir busnya justru tidak ada. Kartun ini adalah sindiran terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena dianggap tidak hadir sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ditengah berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia karena hanya fokus menghadapi persoalan yang dihadapi partainya. Begitu pula pada gambar (2) yang menyindir kepemimpinan SBY pascaperombakan kabinet. Perbandingan komposisi kabinet dengan capaian kinerja yang timpang menjadi fokus sindiran dalam kartun editorial.

c.      Gaya bahasa visual parodi
          Tata ungkap visual yang meniru gaya tertentu dari suatu peristiwa untuk mencari efek kejenakaan ataumenimbulkan kelucuan adalah gaya bahasa visual parodi. Gaya bahasa ini tidak segan-segan memvisualisasikan seseorang yang sedang dikomentari atau dikritisi seperti telihat pada gambar 3.
Gambar 3. Gaya Bahasa Visual Parodi Kartun Editorial
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
(1) Kartun Editorial karya GM Sudarta. Kompas Edisi 8 Januari 2011 (diakses 26/02/2012)
(2) Kartun Editorial karya GM Sudarta. Kompas Edisi 26 Februari 2011 (diakses 25/02/2012)

Kartun editorial di atas memparodikan berbagai persoalan yang harus dihadapi oleh para calon presiden (Capres) pada Pemilu 2014 dan sikap Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menanggapi kritik media massa. Gambar (1) adalah sebuah parodi dari realitas politik menuju Pemilu 2014, di mana rakyat tetap menjadi objek politik dan tetap hidup dalam kemiskinan serta pengabaian para Capres terhadap berbagai persoalan bangsa. Sedangkan tindakan anti kritik yang ditunjukkan Seskab Dipo Alam diparodikan sebagai orang yang buruk rupa seperti pada gambar (2).

d.      Gaya bahasa visual tragedi
Gaya bahasa visual tragedi adalah gaya bahasa yang tata ungkap visualnya menampilkan suatu peristiwa yang menyedihkan. Di mana penderitaan dan kesengsaraan menjadi pokok yang digambarkan sehingga tercipta kesan sedih. Misalnya pada gambar (1) memperlihatkan sebuah tragedi kemiskinan ditengah sikap para elit politik yang sibuk bagi-bagi kekuasaan khususnya partai-partai koalisi. Sedangkan pada gambar (2) tata ungkap visualnya memperliharkan derita yang dihadapi TKI sebagai pahlawan devisa. Kemiskinan menjadi isu sentral penyebab penderitaan TKI ditambah lagi ketidakpedulian negara terhadap mereka.
Gambar 4. Gaya Bahasa Visual Tragedi Kartun Editorial
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
(1) Kartun Editorial karya GM Sudarta. Kompas Edisi 12 Maret 2011 (diakses 26/02/2012)
(2) Kartun Editorial karya GM Sudarta. Kompas Edisi 25 Juni 2011 (diakses 19/02/2012)

e.      Gaya bahasa visual sarkasme
              Gaya bahasa visual sarkasme adalah tata ungkap visual yang kasar sebagai cemooh atau ejekan kasar terhadap seseorang yang dikritisi. Gaya bahasa ini tidak hanya mencemooh tetapi juga secara visual menuduh atau melecehkan oerang yang dikritik (lihat gambar berikut).
Gambar 5. Gaya Bahasa Visual Sarkasme Kartun Editorial
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
(1) Kartun Editorial karya Jitet. Kompas Edisi 6 Juli 2011 (diakses 18/02/2012)
(2) Kartun Editorial karya Jitet. Kompas Edisi 3 Agustus 2011 (diakses 17/02/2012)

Kedua kartun editorial di atas secara sarkasme menyerang Partai Demokrat yang ditandai bintang segitiga dalam visual kartun. Ejekan kasar sebagai partai munafik terlihat jelas pada gambar (1). Disatu sisi memperlihatkan sikap anti korupsi dan disisi lain memperlihatkan sikap pro korupsi. Gaya sarkasme pada gambar (2) terlihat pada visualisasi tempat sampah yang menjadi TOA sedangkan pada ujung bagian tengah terdapat bintang segitiga. Hal ini jelas yang dilecehkan dalam kartun editorial adalah suara Partai Demokrat yang mewacanakan pembubaran KPK dan memaafkan koruptor.


PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa gaya bahasa visual kartun editorial memberi kebebasan kepada media untuk menyampaikan pesan dengan gaya bahasa tertentu bergantung konteks situasi dan isu yang sedang berkembang dimasyarakat. Secara fungsional kartun editorial menjadi sarana untuk mengomentari, menyindir, dan mengkritisi suatu keadaan atau seseorang. Tapi pada praktiknya juga menjadi sarana untuk “menuduh” atau “melecehkan”. Hal ini terlihat jelas pada gaya bahasa visual sarkasme. Di mana kekebasan media yang dijamin undang-undang menjadi paradoks ketika dihadapkan dengan etika komunikasi. Tanpa disadari media secara simbolik melakukan “kekerasan” terhadap subjek yang ditampilkan dalam kartun. Disinilah dibutuhkan literasi visual bagi khlayak agar pengaruh negatif konten media dapat dieliminasi. Menghadapi situasi politik yang semakin panas menjelas Pemilu 2014, media dituntut sebagai pengawas dan pengawal yang tangguh sekaligus menjadi sarana pendidikan politik bagi seluruh rakyat Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Horn, R.E. (2001) Visual Language and Converging Technologies in the Next 10-15 Years (and Beyond). Dari Situs http://www.stanford.edu/~rhorn/a/recent/artclNSFVisualLangv.pdf diakses 29 Oktober 2013.
Littlejohn, S.W. dan Foss, K.A. (2009) Teori Komunikasi: Theories of Human Communication Edisi 9 (terj) Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika.
Rivers, W.L., Jensen, J.W., dan Peterson, T. (2008) Media dan Masyarakat Modern (terj) Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Kencana.
Sumadiria, AS.H. (2009) Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Menulis & Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sunarto, P. (2005) Metafora Visual Kartun Editorial Pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Disertasi Program Studi Ilmu Seni Rupa dan Desain. Bandung: Program Studi Magister Desain FSRD ITB.
Talani, N.S. (2012) Ilustrasi Korupsi dalam Rubrik Opini Kompas Periode 2011: Sebuah Tinjauan                     Wacana Visual. Bandung: Program Studi Magister Desain FSRD ITB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar