Total Tayangan Halaman

Senin, 06 Januari 2014

STRATEGI MEDIA DALAM MARKETING POLITIK*

(Contoh Kasus : Strategi Media Kandidat Calon Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2010-2015 Pada Kongres II Partai Demokrat di Bandung Jawa Barat)

Oleh :
Noval Sufriyanto Talani
NPM 20080009006



PENDAHULUAN


Setelah runtuhnya rezim birokratik-otoritarian orde baru, telah merubah wajah politik dalam negeri yang membuat Indonesia memasuki era demokrasi. Dibukanya keran kebebasan pers oleh Presiden B. J. Habibie dalam masa pemerintahan transisi tahun 1998-1999 melalui lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadikan media lebih “berkuasa” dalam memberikan informasi kepada masyarakat setelah lama dipasung kebebasannya semasa orde baru. Sebuah pertanyaan besar dapat kita utarakan bahwa “siapa yang lebih berkuasa dalam sistem sosial kemasyarakatan kontemporer, pemerintah atau media?”. Menjawab pertanyaan ini, seperti yang dikatakan oleh Matt Drudge dalam jurnal Jyesta Communication bahwa “Pemerintah dan media memiliki posisi yang sebanding. Namun dari sisi yang lebih alami, media lebih berkuasa dibanding pemerintah.” Ungkapan Drudge bukan tanpa alasan. Media massa memiliki kekuatan (power) luar biasa dalam dunia modern mengingat perannya dalam mempengaruhi opini dan kebijakan publik melalui informasi, reportase, ulasan dan investigasi yang disajikan. Tak heran para pemangku kekuasaan berupaya berinteraksi secara sejajar, kalau tidak dikatakan tergantung pada pihak media.

Situasi ini kemudian berkembang menjadi sebuah kajian dasar bagi dunia politik. Dalam komunikasi dikenal istilah bagaimana melakukan pendekatan dalam persuasi politik. Beberapa ahli komunikasi politik memang mengemukakan bagaimana peran media dalam proses politik. Dalam konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi media massa menjadi sentral dalam politik (Pawito, 2009:91). Sejak tahun 1999 masyarakat mulai disuguhkan dengan berbagai informasi menyangkut politik sebagai pembelajaran politik bagi khalayak. Contohnya, diskusi publik yang ditayangkan secara on air atau off air di media-media elektronik dan ulasan serta analisis politik di media cetak. Kepentingan partai politik dalam menyampaikan visi-misi partai tentu memanfaatkan media agar dapat diketahui oleh masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh sifat media massa yang dapat menyampaikan pesan-pesan secara massif dan menjangkau khalayak atau publik yang memiliki karakteristik beragam, dan terpancar luas melalui saluran-saluran yang dimiliki.

Pada Pemilu tahun 1999 pemanfaatan media untuk kepentingan politik semakin terasa karena mulai banyaknya iklan-iklan politik untuk meraih perolehan suara dan juga berlakunya kembali sistem multipartai yang diikuti oleh 48 Partai Politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu. Namun, pada Pemilu 2004 sistem pemilihan mengalami perubahan menjadi sistem pemilihan langsung. Dalam kaitan perubahan sistem pemilihan, maka sistem pemerintahan pun berubah dari sistem pemerintahan parlementer menjadi sistem pemerintahan presidensial dimana Presiden tidak lagi dipilih oleh anggota DPR/MPR melainkan langsung dipilih oleh rakyat melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kondisi inilah yang lebih menguatkan peran media massa dalam kancah politik di tanah air. Bebagai media digunakan selama kampanye Parpol mulai dari leaflet, brosur, poster, baliho, billboard, iklan radio, iklan televisi, sampai pada kampanye terbuka dengan pengarahan massa yang tentunya tidak terlepas dari liputan media massa. Perubahan ini tentunya juga mempengaruhi pola pemanfaatan media oleh Parpol dalam mencapai tujuannya, yakni mempengaruhi khalayak konstituen untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya.

Namun perubahan sistem politik Indonesia pascareformasi telah mendorong pula perubahan perilaku para aktor politik dalam mempertahankan eksistensinya di dunia politik baik lokal maupun nasional. Pertarungan antarelite politik di lingkungan internal partai melalui media untuk suksesi menjelang kongres partai menjadi hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Setelah pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 pemanfaatan media sebagai salah satu alat pemenangan para kandidat calon ketua umum partai semakin marak. Misalnya, pada pelaksanaan Kongres Partai Golkar di Riau bulan Oktober 2009, Kongres PAN di Batam bulan Januari 2010, Kongres Partai Hanura di Surabaya bulan Februari 2010, Kongres PDI-P di Bali bulan April 2010 dan Kongres Partai Demokrat (PD) di Bandung bulan Mei 2010 silam menunjukkan bagaimana media menjadi ‘tumpuan’ utama para kandidat untuk mensosialisasikan visi-misi, strategi politik atau rencana pencapaian partai pada Pemilu 2014 mendatang sebagai produk politik yang dijual kepada konstituen. 

Dari kelima partai yang telah menyelenggarakan kongres, menarik untuk dikaji dalam hal strategi media oleh masing-masing kandidat calon ketua umum partai adalah Kongres Partai Demokrat. Ketertarikan penulis untuk mengkaji strategi media para kandidat calon ketua umum PD tidak lain adalah kelihaian partai itu dalam pemanfaatan media yang dibuktikan dengan kemenangan PD pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Kajian lebih difokuskan kepada bagaimana strategi media dalam marketing politik para kandidat calon ketua umum Partai Demokrat? dan apakah strategi media yang diterapkan memiliki korelasi dengan keterpilihan calon atau tidak?.

Dalam kajian ini, penulis menggunakan teori-teori yang relevan dari berbagai literatur khususnya tentang komunikasi politik, komunikasi massa, marketing politik, dan periklanan serta literatur lain yang mendukung kajian ini diuraikan dalam pembahasan. Berdasarkan teori-teori itulah kemudian penulis menganalisis bagaimana strategi media dalam marketing politik para kandidat calon ketua umum PD periode 2010-2015 pada Kongres II PD di Bandung Jawa Barat sebagai contoh kasus yang diangkat dalam kajian ini.



PEMBAHASAN



Pembahasan dalam kajian ini dimulai dari fungsi politik media massa, kekuatan media massa yang lebih difokuskan pada kekuatan media cetak dan media elektronik, pengaruh media massa, proses perencanaan media, konsep marketing politik, proses marketing politik, dan hubungan media dan marketing politik.

Fungsi Politik Media Massa

Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi sosial khusunya terkait dengan kehidupan politik. Fungsi politis media massa seperti yang diungkapkan oleh Dye dan Zeigler (1986:7-22) mengidentifikasi fungsi media massa meliputi lima hal pokok: (a) fungsi pemberitaan, (b) interpretasi, (c) sosialisasi, (d) persuasi, dan (e) fungsi pengagendaan isu (dalam Pawito, 2009:95-99). Kajian yang lebih baru mengenai fungsi politik media massa banyak dilakukan dengan mengaitkannya dengan upaya pengembangan demokrasi. Media massa memiliki peran signifikan dalam upaya pengembangan sistem demokrasi multipartai. 

Media juga berhasil menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi dikalangan masyarakat, termasuk elite politik. Sistem multipartai memungkinkan adanya pemisahan kekuasaan dan penyeimbang kekuasaan yang memungkinkan adanya koreksi dan saling pergantian peran (check and balances). Uhlin pernah mengamati upaya pengembangan demokrasi di Indonesia sebelum menyeruaknya gerakan reformasi memperoleh kesimpulan bahwa madia massa telah berperan dalam pembangunan demokrasi melalui dua cara. Pertama, memberikan prioritas terhadap perkembangan yang terjadi ditanah air yang mendukung upaya pengembangan demokrasi. Kedua, media massa Indonesia memberikan penekanan terhadap perkembangan demokrasi yang terjadi di luar negeri.

Demikian juga dengan Pawito melakukan penelitian mengenai peran media massa di Indonesia periode transisi 1997-1999 yang menemukan fakta bahwa media massa memainkan peran penting dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia. media massa mampu menumbuhkan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai politik, memfasilitasi debat publik mengenai berbagai persoalan penting yang dihadapi bangsa, mengambil peran secara ekstensif dalam pengawasan kebijakan (watchdog), dan mempromosikan tuntutan-tuntutan perubahan mendasar sebagaimana disampaikan secara luas oleh masyarakat melalui demonstrasi ataupun yang lain (Pawito, 2009:100-101).

Selain itu, Curran (1991:277-278) mengindentifikasi enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam upaya pengembangan demokrasi, yakni: (a) menyediakan diri sebagai forum debat publik, (b) mengartikulasikan pendapat umum, (c) memaksa pemerintah mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh rakyat, (d) mendidik warga negara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan dalam pemilihan umum, (e) memberikan kepada publik saluran-saluran komunikasi politik di antara berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan (f) membela individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kalangan eksekutif dan cabang kekuasaan lainnya.

Dari keenam fungsi yang dipaparkan di atas, lima tahun kemudian Curran (1996:103-104) merevisi gagasannya tersebut dengan hanya menekankan pada tiga fungsi pokok media massa (terutama pers) dalam tiga upaya pengembangan demokrasi antara lain: (a) fungsi informasi, (b) fungsi representasi, dan (c) fungsi membantu mencapai tujuan bersama masyarakat (dalam Pawito, 2009:102).

Kekuatan Media Massa

Selain fungsi di atas, media massa juga memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi masyarakat tentunya sebagai target konstituen oleh partai politik maupun kandidat tertentu dalam meraih dukungan. Kekuatan yang dibahas dalam tulisan ini adalah kekuatan media cetak, dan kekuatan media elektronik.

a) Kekuatan Media Cetak

Media massa cetak yang dalam konteks ini dibatasi dalam bentuk surat kabar, majalah, dan buku merupakan sarana komunikasi dan persuasi bagi para praktisi politik, para partisan politik, dan para pemerhati politik. Sebagai sarana komunikasi, media massa cetak tersebut dimanfaatkan untuk mensosialisasikan visi dan misi dari kandidat, memberikan informasi selengkap dan semenarik mungkin berkait dengan program-program jangka panjang dan pendek sebagai perwujudan pelaksanaan visi dan misi para kandidat, memberikan liputan dalam kolom reguler maupun kolom khusus terkait dengan kampanye mereka, menyampaikan biografi dan karya-karya para kandidat berikut rencana kerja mereka. Informasi-informasi tersebut dikemas sedemikian rupa dalam aneka bentuk publikasi – liputan berita, liputan khusus, features, analisis, iklan, dan lain-lain – sehingga menjadi berguna dan menarik bagi para calon pemilih. Kemasan publikasi dalam media massa cetak seperti ini – baik dalam surat kabar harian maupun dalam majalah mingguan atau dwi-mingguan ataupun bulanan – dimaksudkan sebagai sarana persuasi agar para calon pemilih tertarik, terpikat kepada calon yang disosialisasikan dan dipopuleritaskan dalam kampanye tersebut. 

Media massa cetak tersebut bisa menarik karena sifatnya yang lama dalam pengertian bahwa informasi yang dipublikasikan tersebut bisa disimpan tanpa harus melakukan ‘recording’ sebagaimana dalam media massa siaran; dan kemudian informasi tersebut bisa mudah didapatkan kembali sewaktu-waktu diperlukan. Dengan demikian media massa cetak bukan merupakan media komunikasi, informasi, dan persuasi yang lewat begitu saja sebagaimana yang terjadi dalam media massa siaran baik radio maupun televisi. Di sinilah letak kekuatan media massa cetak. 

Selain karena hal tersebut di atas, informasi media massa cetak juga mempunyai kekuatan bagi kalangan tertentu, khususnya bagi golongan berpendidikan. Informasi ataupun data dalam bentuk cetak sangat digemari oleh kalangan sebagaimana tersebut di atas. Mereka membutuhkan informasi dan data dalam bentuk cetakan karena jenis ini pada umumnya merupakan hasil suatu observasi dan analisis yang cukup mendalam dan representatif yang bisa menjadi acuan bagi mereka baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan lainnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kenneth Janda dan kawan-kawan (1987:337) yang menyatakan bahwa “Although more people today depend on television than on newspaper for news, those with more education rely more on newspapers. Newspapers usually do a more thorough job of informing the publik about politics.

Pendapat senada juga disampaikan oleh William L. Rivers dan kawan-kawan (2003:307) bahwa secara umum, berdasarkan kesimpulan dari berbagai studi, orang berpendidikan tinggi lebih menyukai media cetak atau media bacaan dibandingkan dengan media siaran; sedangkan mereka yang berpendidikan menengah lebih menyukai televisi dan radio. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan media cetak dalam mempengaruhi khalayak bergantung pada tingkat pendidikan.

b) Kekuatan Media Elektronik

Media massa siaran dalam konteks ini meliputi radio dan televisi. Dalam masyarakat politik di Amerika Serikat, radio bukan merupakan media massa siaran yang dianggap sangat efektif dan efisien untuk kepentingan kampanye mengingat bahwa populeritas radio bagi masyarakat Amerika Serikat semakin menurun bersamaan dengan munculnya media massa siaran televisi. Oleh karena itu, para praktisi politik, para partisan politik, pemerhati politik kurang memberikan prioritas terhadap penggunaan media massa siaran radio sebagai media komunikasi, informasi, dan persuasi dalam pelaksanaan kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat, meskipun sebenarnya radio merupakan media yang praktis karena bisa didengarkan di mana saja dan kapan saja, bisa didengarkan sambil melakukan aktivitas lainnya. Di Indonesia radio juga masih merupakan pilihan oleh para kandidat untuk berkampanye dan tentunya disesuaikan dengan segmen pasar yang ingin dituju. Namun mereka kadang lebih memilih media massa siaran televisi karena televisi bisa memberikan tampilan lebih menarik dibandingkan kegiatan kampanye yang disiarkan melalui radio. Hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak menggunakan radio; mereka tetap menggunakan radio, hanya porsinya tidak sebanyak yang mereka lakukan melalui media massa siaran televisi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Dewasa ini televisi memang merupakan media massa yang paling komunikatif dan paling digemari oleh kedua belah pihak (para politisi dan para pemilik hak pilih) karena televisi mempunyai sifat yang berbeda dari media massa lainnya, yaitu bahwa televisi merupakan perpaduan audio-visual sehingga dengan demikian televisi memberikan kesan sebagai penyampai isi atau pesan seolah-olah secara langsung antara komunikator (pembawa acara atau pengisi acara) dengan komunikan (pemirsa). Informasi yang disampaikan melalui televisi mudah dimengerti karena secara bersamaan bisa didengar dan dilihat. Bahkan televisi bisa berperan sebagai alat komunikasi dua arah, khususnya dalam acara-acara ‘live show’. 

Frank Allen Philpot dari Universitas Stanford (Rivers 2003:226) menyatakan bahwa liputan televisi lebih disukai para politisi karena liputan itu nampak lebih nyata dan akrab daripada foto atau kutipan pembicaraan mereka yang dipublikasikan lewat surat kabar, apalagi televisi bisa melakukan siaran langsung sehingga lebih dipercaya karena tidak dapat diedit seperti halnya media massa cetak. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Darlisa Crawford (2004:1) yang menyatakan bahwa dalam kampanye presiden tahun 2004, televisi menjadi sumber informasi utama bagi para pemilih.

Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia, pemanfaatan media dalam menunjang kampanye kandidat calon ketua umum partaipun juga dilakukan melalui televisi lewat iklan politik, siaran atau liputan berita biasa (reguler) maupun berita khusus berkaitan dengan kampanye, siaran debat terbuka calon, diskusi dan dialog terbuka dengan calon maupun tim kampanye mereka yang bisa melibatkan para pemirsa televisi. Siaran-siaran itu bisa diselenggarakan baik secara langsung maupun tidak langsung; dan biasanya untuk memikat pemirsa lebih banyak dan agar lebih efektif dan efisien, siaran diusahakan dalam jam tayangan ‘prime time’ antara jam 20.00–22.00, khususnya untuk siaran-siaran yang melibatkan partisipasi pemirsa secara langsung.

Bentuk penayangan iklan politik dipilih sebagai salah satu bentuk siaran televisi dalam rangka mensukseskan pelaksanaan kampanye pemilihan. Kathleen Hall Jamieson (dalam Crawford 2004:2) berpendapat bahwa iklan politik sekarang merupakan ‘the major means by which candidates for the presidency communicate their messages to voters’. Selanjutnya, Kenneth Janda dan kawan-kawan (1987:331) menyatakan bahwa “political advertising in the form of posters, buttons, and slogans has a long history in American election campaigns.” Dari penayangan jenis ini pemirsa bisa mendapatkan informasi berkait dengan visi-misi dan program kerja yang dijanjikan; selain itu, pemirsa juga disodori penayangan figure kandidat yang sengaja ditonjolkan supaya mempunyai ‘nilai jual’, artinya supaya bisa memikat calon pemilih.

Para kandidat dijadikan ikon-ikon baru (bisa juga disebut sebagai aktor-aktor baru) yang sengaja ditonjolkan dalam penayangan tersebut. Semua bentuk aneka penayangan iklan politik pada prinsipnya merupakan suatu alat yang dipakai untuk mempengaruhi publik, khususnya pemilik hak pilih, supaya memilih kandidat yang ditayangkan atau memperkuat dan memperteguh pendirian calon pemilih yang sudah menentukan pilihan mereka. Oleh karena itu, diperlukan cara-cara penayangan yang sedemikian rupa sehingga mampu memberi kesan positif bagi pemirsa dan selanjutnya mampu mengoptimalkan ikatan emosional para calon pemilih baik yang belum menentukan pilihan maupun yang sudah menentukan pilihan. 

Menurut Yusuf Maulana (2004:5) pengelolaan kesan merupakan bagian terpenting dalam komunikasi politik. Visualisasi tubuh dan artikulasi verbal dari para kandidat maupun tim sukses atau para aktor dan narator dalam penayangan tersebut merupakan bagian dari fungsi bahasa yang harus diperhatikan sehingga dengan demikian penayangan itu merupakan hasil dari pengolahan citra melalui bahasa, yang menurut istilah Ben Anderson gejala ini disebut ‘penopengan’ yang mereduksi, bahkan mendistorsi pesan yang seharusnya tampil sebagaimana adanya. Dalam kampanye, tentunya, kesan atau citra yang ingin diperoleh adalah yang positif-persuasif yang kemudian mampu mendapatkan perhatian dari para pemirsa, yang akhirnya mampu mengubah persepsi atau memperteguh persepsi untuk memilih kandidat yang dikehendaki dalam penayangan tersebut.

Bentuk penayangan berikutnya adalah liputan kampanye dalam acara berita reguler maupun dalam berita khusus yang disediakan oleh stasiun televisi dalam rangka kampanye. Cara penayangan ini juga menjadi media bagi para kandidat dan tim suksesnya untuk memberikan informasi selengkap dan semenarik mungkin kepada para pemirsa sehingga mampu memberikan wacana yang representatif dan komprehensif, yang pada akhirnya diharapkan bisa mempunyai daya pengaruh yang kuat bagi para calon pemilih untuk menentukan pilihan mereka. Demikian juga dengan bentuk penayangan melalui acara diskusi dan debat terbuka baik yang dirancang oleh stasiun televisi maupun yang dirancang oleh panitia pemilihan. Semuanya itu dikemas dalam rangka memberikan informasi selengkap dan semenarik mungkin kepada para pemirsa, khususnya kepada target mereka, yaitu mereka yang mempunyai hak pilih. Acara diskusi dan debat terbuka baik yang disiarkan secara langsung maupun melalui siaran tunda mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri karena melalui acara ini pemirsa bisa mendapatkan gambaran langsung tentang kualitas kandidat yang ada; di pihak lain, masing-masing kandidat dan timnya bisa memaksimalkan cara persuasinya dalam berbagai bentuk tampilan untuk memikat calon pemilihnya.

Pengaruh Media Massa

Perkembangan media massa modern saat ini meningkatkan pengaruhnya pula kepada khalayak dan sulit untuk dihindari. Dari konten-konten media massa tentu menampilkan berbagai macam peristiwa sosial yang diliput, tetapi konten yang ditampilkan disesuaikan oleh kepentingan media itu sendiri. Misalnya, dalam media ada berita. Berita sendiri berpengaruh pada khalayak. Adapun pengaruh media itu antara lain:
  1. Agenda setting: adalah pemahaman bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh media massa.
  2. Gate keeping: media bisa menjadi penjaga informasi atau penyaring informasi yang ditujukan kepada khalayak.
  3. Framing: terjadi ketika media massa membingkai beberapa isu yang ditonjolkan oleh media kepada khalayak.
Dari pengaruh di atas, dapat disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang merupakan dampak atau efek dari media massa khususnya televisi yang mampu menampilkan audio dan visual sekaligus sehingga khalayak tidak perlu bersusah payah untuk membaca secara statis seperti pada buku, surat kabar, majalah, dan hanya mengandalkan pendengaran sambil berimajinasi tentang apa yang didengar seperti penyiaran lewat radio.

Proses Perencanaan Media

Perencanaan media untuk kampanye merupakan tindakan strategis dan penting sehingga perencana yang akan ‘menjual’ calonnya mengetahui media yang cocok dan strategi kreatif apa yang akan digunakan serta perencanaan anggaran yang matang pula. Menurut Shimp (2003,5) perencanaan media meliputi proses penyusunan rencana penjadwalan yang menunjukkan bagaimana waktu dan ruang periklanan akan mencapai tujuan pemasaran. Perencanaan media meliputi koordinasi tiga tingkat perumusan strategi, yakni: strategi pemasaran, strategi periklanan, dan strategi media. Proses perencanaan media dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Gambar 1. Proses Perencanaan Media 
Sumber: Shimp, Terence A. 2003. Periklanan dan Promosi. Jilid II Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga


Dari bagan di atas terlihat jelas bahwa strategi media terdiri dari empat kegiatan yang saling berkaitan, yakni:
  1. Memilih audience sasaran; 
  2. Menspesifikasi tujuan media; 
  3. Memilih kategori media dan sasaran; serta 
  4. Membeli media. 

Konsep Marketing Politik 


Marketing menurut Bruce I. Newman adalah proses memilih customer, menganalisa kebutuhan mereka dan kemudian mengembangkan inovasi produk, advertising, harga dan strategi distribusi dalam basis informasi. Marketing dalam pengertian Bruce bukan dalam pengertian marketing biasa, melainkan produk politik berupa image politisi, platform, pesan politik dan lain-lain yang dikirim ke audiens yang diharapkan menjadi konsumen yang tepat (Newman, Bruce, 1999:3). 

Pendapat lain dikemukakan oleh Mauser G. (1983:5), yang mendifinisikan marketing sebagai ‘influencing mass behavior in competitive situations’. Marketing politik dianalogikan kepada marketing komersial. Misalnya di sektor komersial harus memiliki target audience dari pemilih yang harusnya mendukung, menggunakan media massa, dalam sebuah lingkungan kompetitif yang dipadati lebih dari satu ‘brand’ produk. Meskipun memang akan ada perbedaan mendasar antara marketing politik dengan marketing komersial. Contohnya, marketing politik mengukur kesuksesan tidak dalam term keuntungan melainkan dalam hasil voting dan efektivitas power (Muaser, 1983:5). 

Secara sederhana marketing politik adalah merupakan serangkaian kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk memasarkan produk politik. Alasan untuk memasarkan produk politik ini adalah agar konstituan mengatahui, memahami kemudian membeli produk yang dipasarkan. Ada tiga pendekatan strategi dalam memasarkan produk politik tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nursal (dalam Firmanzah, 2007) bahwa tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencari dan memperoleh dukungan politik atau memasarkan produk politik, yakni: 
  1. Push Marketing, dimana kandidat atau partai politik berusaha mendapatkan dukungan melalui stimulan yang diberikan secara langsung kepada pemilih. 
  2. Pass Marketing, dimana pemasaran produk politik melalui orang atau kelompok berpengaruh yang mampu mempengaruhi opini pemilih. 
  3. Pull Marketing, dimana pemasaran produk politik melalui media massa yang menitikberatkan pada image atau citra produk politik tersebut. 
Sedangkan Newman (1999) menambahkan dalam peta marketing kandidat (Candidat Marketing Map) paling tidak ada enam tahap yang harus diperhatikan antara lain: 
  1. Riset lingkungan (environment research) : yakni setting dan konteks dimana seorang kandidat mengorganisasikan sebuah kampanye. Hal ini terkait dengan upaya mendifinisikan isu, peluang, dan tantangan yang dihadapi kandidat. Misalnya pada tahap ini meriset situasi ekonomi, mood pemilih (voter satisfaction or dissatisfaction), isu dan konsern penting pemilih, peta demografi pemilih, riset partai dominan atau independen dll. 
  2. Analisis penilaian internal dan eksternal (internal and external assesment analysis). Kandidat mesti menilai kekuatan dan kelemahan dirinya, kekuatan dan kelemahan organisasi kampanye pada seluruh tahapan pengembangan, status kandidat sebagai incumbent atau penantang, peluang isu-isu kampanye, kekuatan dan kelemahan kompetitor. 
  3. Marketing strategis (strategic marketing), misalnya terkait dengan segmentasi pemilih (usia, income, pendidikan, etnis, ideologi kelompok dll.), target dan positioning (citra kandidat versus citra lawan). 
  4. Setting tujuan dan strategi kampanye (goal setting and campign strategy) misalnya menyangkut positioning latar belakang dan qualifikasi, pesan utama kampanye, pemilihan isu dan solusi konsep pribadi kandidat dll. 
  5. Komunikasi, distribusi dan perencanaan organisasi (communication, distribution and organization plan). Tahap ini misalnya menekankan pada sosok penampilan, publisitas, iklan dan pemilihan pesan, format serta desain medianya. 
  6. Pasar-pasar (massa) utama dan hasil (key markets and outcomes) yang terkait dengan segmen konstituen pemilih partai, segmen kontributor, segmen media dan publisitas. 
Proses Marketing Politik Niffenneger dan Butler & Collins (dalam Firmanzah, 2008) menjelaskan karakteristik dan content marketing politik dengan lebih rinci dan membedakannya dengan marketing komersial walaupun proses marketing politik masih mengikuti proses yang terdapat dalam marketing komersial, namun hal-hal yang dibahas ditiap tahapan proses sangat berbeda antara marketing komersial dengan marketing politik. Proses marketing politik menurut Niffenneger dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Gambar 2. Proses Marketing Politik 
Sumber: Niffenneger (1989) dalam (Firmanzah, 2008)


Hubungan Media dan Marketing Politik 

Dari uraian di atas menujukkan bahwa hubungan media dan marketing politik begitu erat. Media sebagai sarana utama bagi partai politik atau kandidat tertentu untuk memberikan informasi kepada masyarakat tanpa harus bertatap muka langsung dan terlebih lagi media digunakan sebagai sarana pencitraan. 

Tujuan utama dari pencitraan adalah meningkatkan kesadaran khalayak kepada produk yang dicitrakan berdasarkan keinginan pemasar dalam hal ini adalah partai politik atau kandidat sehingga pada akhirnya memberikan kemampuan kredibilitas dan rasa percaya diri. Dari citra inilah akan tercipta brand positioning dibenak konsumen (konstituen), maka peluang menjadi top of mind semakin besar dan mampu menciptakan brand relationship, yakni hubungan harmonis yang tumbuh antara produk dan konsumennya (parpol/kandidat dan konstituennya). Ketika terjadi hubungan yang harmonis antara parpol atau kandidat dengan konstituen, maka loyalitas dan dukungan terus-menerus akan tercipta. 

Perkembangan politik kontemporer membuktikan bahwa telah terjadi ‘ketergantungan’ para politisi terhadap media dalam menjalankan politik citra. Dalam pemilu 2009 yang lalu bagaimana media sangat berperan dalam membangun citra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dilancarkan oleh PD dan terbukti berhasil dengan terpilihnya kembali SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. 


ANALISIS


Kedudukan media yang istimewa terutama dalam periode-periode pemilihan menjadikan parpol atau kandidat bernafsu untuk ‘menguasai’ media guna menyampaikan program (platform) partai, membangun opini melalui isu-isu politik yang sedang berkembang, membangun citra, dan sebagainya menarik untuk dianalisa. 

Analisis dalam kajian ini berhubungan dengan pemanfaatan media oleh para aktor politik sebagai fokus kajian adalah strategi media dalam marketing politik kandidat calon ketua umum PD periode 2010-2015, yakni Andi Mallarangeng (AM), Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie. Setelah strategi media masing-masing kandidat dipaparkan, kemudian analisis dilanjutkan pada keterkaitan antara strategi media yang diterapkan dalam marketing politik masing-masing kandidat dengan keterpilihan kandidat menjadi ketua umum PD periode 2010-2015. 

Strategi Media Dalam Marketing Politik 

Strategi media menjadi mutlak untuk diketahui oleh parpol maupun kandidat karena strategi media berhubungan dengan efektivitas pesan politik yang disampaikan, media yang digunakan tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Disamping perencanaan media yang tepat, penentuan segmentasi juga penting dilakukan untuk menentukan media yang cocok digunakan dan bagaimana strategi kreatifnya (komunikasi dan visual). Rothschild (1978) menunjukkan pilihan media merupakan salah satu faktor penting dalam penetrasi pesan politik ke publik. Mengetahui adanya perbedaan tingkat penetrasi media (TV, radio, media cetak seperti Koran dan majalah) dalam suatu wilayah penting dilakukan untuk menjamin efektivitas pesan politik yang disampaikan (Firmanzah, 2008:204). 

Menjelang pelaksanaan Kongres II PD, para kandidat calon ketua umum mulai mengkampanyekan diri sebagai orang yang layak memimpin PD lima tahun kedepan. Berbagai iklan politik para kandidat mulai banyak menghiasi media baik itu dimedia cetak maupun elektronik atau diruang-ruang publik. Dengan propaganda media, ‘perang’ antara kandidatpun tidak terhindarkan. Berbagai strategi digunakan untuk meraih dukungan suara dari pemilik suara dalam kongres nanti, yakni Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PD seluruh Indonesia serta suara dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PD. 

Kongres II PD diikuti oleh tiga kader terbaik partai itu yang telah mencalonkan diri sebagai kandidat ketua umum PD periode 2010-2015. Masing-masing kandidat calon ketua umum PD itu adalah Andi Mallarangen (Menteri Pemuda dan Olahraga), Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi PD di DPR-RI), dan Marzuki Alie (Ketua DPR-RI asal Fraksi PD). 

Dalam menganalisis strategi media dalam marketing politik ketiga kandidat di atas tidak terlepas dari strategi periklanan yang dilakukan masing-masing kandidat, dimana ada empat tahapan strategi periklanan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dalam bagan proses perencanaan media. Analisis mendalam lebih penulis fokuskan pada tahapan strategi pesan yang dititik beratkan pada strategi komunikasi dan visual yang digunakan dan tahapan strategi media itu sendiri. Pada tahapan strategi media terdapat empat strategi, yakni pemilihan audience sasaran, spesifikasi tujuan, pemilihan media dan sarana serta pembelian media. Strategi pembelian media sebenarnya merupakan hal khusus dalam strategi media dimana yang dimaksud adalah kepemilik pemasar tehadap media. Namun dalam kajian ini pembelian media lebih dimaksudkan pada pembelian waktu (dimedia elektronik) atau tempat (dimedia cetak). 

I. Strategi Media Andi Mallarangeng (AM) 

Andi Malarangeng merupakan kandidat pertama yang mendeklarasikan diri untuk menjadi calon ketua umum PD periode 2010-2015. Deklarasi yang dilaksanakan dengan meriah dan diliput secara langsung oleh berbagai media massa serta dihadiri oleh ribuan orang termasuk kader partai dan para menteri yang berasal dari PD. Kehadiran para menteri dan elite partai dalam deklarasi AM menunjukkan betapa kuatnya dukungan kepadanya untuk memimpin PD lima tahun kedepan ditambah lagi kehadiran Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai pembaca deklarasi menambah kepercayaan diri AM untuk maju karena kehadiran Ibas dianggap sebagai sinyal dukungan SBY kepadanya. Pidato politik yang disampaikan pun memikat banyak hadirin, kemudian isi pidato tersebut dimuat di harian Kompas keesokan harinya dengan judul “Sekali Layar Terkembang”. 

Pasca deklarasi di tugu Proklamasi itulah AM mulai melancarkan kampanye politiknya melalui berbagai media baik media cetak maupun elektronik. Iklan politik AM terpasang media cetak seperti surat kabar dan majalah, media elektronik khususnya iklan televisi ditambah lagi dengan media lain seperti internet, banner, baliho, billboard, stiker, gimmick, kaos, sampai pada vehicle advertising dan balon udara serta atribut-atribut lain yang mendukung. 

Proses Perencanaan Media 

Berdasarkan analisis penulis terhadap strategi media dalam marketing politik Andi Mallarangeng (AM) melalui empat tahap proses perencanaan media (strategi periklanan) berikut ini: 

a. Tujuan Iklan 

Tujuan iklan politik AM lebih kepada pembangunan citra AM dimata publik secara umum dan secara khusus dimata para kader PD. Sedangkan populeritas AM tidak diragukan lagi karena kepopuleran AM diinternal partai dimulai sejak menjadi Juru Bicara Presiden SBY dan posisinya sebagai Ketua Departemen di DPP PD. Citra yang dibangun oleh AM adalah kader yang memahami pemikiran SBY sebagai tokoh sentral di PD. Hal ini tercermin dari isi pidato politik AM setelah deklarasi dan sehari sebelum pemilihan ketua umum PD yang dimuat di harian Kompas sehalaman penuh dan strategi pesan yang digunakan. 

b. Anggaran Iklan 

Untuk mendukung kesuksesan iklan politik tentu dibutuhkan anggaran yang cukup baik dari dana pribadi maupun sponsor. Dari iklan politik AM diberbagai media dan diberbagai tempat menunjukkan bahwa anggaran iklan yang dikeluarkan sangatlah besar dibanding dengan kandidat lain. Disamping penggunaan berbagai macam media kampanye, bersarnya anggaran iklan AM juga dipengaruhi oleh jangka waktu iklan dan frekuensi pemasangannya selama dua bulan sebelum kongres dimulai. Perkiraan kasar penulis, anggaran iklan yang digolontorkan AM mencapai puluhan muliar rupiah. 

c. Strategi Pesan 

Strategi pesan dalam iklan AM, penulis membaginya menjadi dua strategi, yakni strategi komunikasi dan strategi visual. 

-    Strategi Komunikasi 
Strategi komunikasi AM dalam iklan politiknya sangat berbeda dari dua pesaingnya. Beberapa hal yang ditinjolkan dalam iklan adalah inisial nama Andi Mallarangeng, yakni “AM” dan diikuti oleh kalimat “For Demokrat 1” dan kata “Lanjutkan”. Kalimat “For Demokrat 1” lebih diasosiasikan dengan Ketua Umum PD, sedangkan kata “Lanjutkan” lebih kepada kata yang digunakan PD pada kampanye SBY di Pemilu 2009 silam. Penggunaan pesan politik AM dimedia cetak dan elektronik tetap konsisten. Selain kata “Lanjutkan” dan “AM For Demokrat 1” ucapan “Selamat Datang” juga terdapat dalam media kampanye AM khususnya media luar ruang (baliho, billboard, spanduk, maupun banner). Pesan politik yang berbeda terdapat pada media kampanye lain, yakni iklan banner yang berukuran 80 cm X 160 cm yang menggunakan bahasa ‘gaul’. 

-   Strategi Visual
Selain strategi komunikasi, strategi visual dalam iklan politik AM pun sangat berbeda dengan kandidat lain, yakni keberanian dari tim kreatif AM menggunakan gambar ilustrasi wajah dengan latar belakang ilustrasi kibaran bendera Merah Putih dan tipografi (huruf) inisial “AM” berwana merah dan biru lebih menonjol dibanding dengan tipografi lain.

Gambar 3. Strategi Visual Iklan Politik Andi Mallarangeng (AM) 


a. Strategi Media
-   Memilih Audience Sasaran 

Menentukan audience sasaran merupakan syarat pertama yang harus dilakukan agar strategi media berhasil. Ada empat faktor utama untuk menentukan (mensegmentasi) audience sasaran dalam strategi media, yakni geografis, demografis, pemakaian produk, dan psikografis/gaya hidup. Menganalisis iklan-iklan politik AM, segmentasi audience sasaran tidak hanya terbatas pada kalangan internal PD namun lebih kepada masyarakat secara luas. Strategi ini mungkin dilakukan untuk investasi jangka panjang AM untuk 2014 dalam konteks Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Diacara Mata Najwa dengan tema “Solek Politik”, Rizal Mallarangeng dari Fox Indonesia konsultan politik yang menangani marketing politik AM mengakui bahwa strategi kampanye yang diterapkan adalah spekulasi jangka panjang jika AM nantinya terpilih menjadi Ketua Umum PD memiliki peluang menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden di Pemilu 2014 mendatang. Dari strategi yang digunakan konsultan politik AM bahwa empat faktor segmentasi dibangun untuk jangka panjang. 

-   Menentukan Tujuan Media 

Dalam menentukan tujuan media terdapat lima tujuan yang merupakan dasar dari perencanaan media, yaitu jangkauan, frekuensi, bobot, kontinuitas, dan biaya. Jangkauan adalah kepada jumlah audience sasaran yang harus melihat, membaca, atau mendengar pesan periklanan dalam masa tertentu. Frekuensi adalah berapa sering audiens sasaran dihadapkan pada periklanan selama ini. Bobot adalah berapa banyak total iklan yang dibutuhkan selama masa tertentu untuk mencapai tujuan jangkauan dan frekuensi. Kontinuitas adalah bagaimana anggaran periklanan harus dialokasikan sepanjang waktu. Sedangkan biaya adalah apa cara yang paling murah untuk mencapai tujuan yang lain. 

Mengamati penggunaan media untuk iklan politik AM terlihat bahwa dia ingin menjangkau seluruh audiens sasaran walaupun audiens yang dituju tidak memiliki hak suara dalam kongres PD. Frekuensi iklanpun begitu gencar selama dua bulan penuh sebelum pelaksanaan kongres khsusunya dua minggu setelah deklarasi pencalonan dan dua minggu menjelang kongres. Total iklan politik AM lebih banyak dibandingkan dengan iklan Marzuki dan Anas karena frekuensinya yang lama. Karena didukung oleh dana yang cukup besar, kontinuitas iklan politik AM terus dilakukan sepanjang waktu sampai pelaksanaan kongres PD. 

-   Pemilihan Media dan Sarana 

Pemilihan media dan sarana guna mendukung kampanye politik AM, berbagai media digunakan secara maksimal oleh timsuksesnya seperti media massa cetak (surat kabar dan majalah), media massa elektronik (TV dan radio) serta media cetakan (print ad) seperti billboard, baliho, banner, spanduk, stiker, kaos, bendera, umbul-umbul, maupun iklan dikendaraan (vehicle advertising). 

-   Pembelian Media (Waktu Tayang dan Tempat Iklan) 

Pembelian media lebih kepada pembelian waktu tayang (spot) iklan dimedia elektronik dan membeli halaman dimedia cetak. Iklan politik AM dimedia elektronik khususnya TV selalu menempati waktu tayang dijam-jam aktif (prime time) sebanyak 15-20 kali spot dalam seminggu. Sedangkan dimedia cetak iklan politik AM membeli halaman utama dengan pemakaian tempat satu halaman full

Proses Marketing Politik 

Proses marketing politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Niffenegger seperti bagan di atas bahwa kandidat yang dijual adalah Andi Mallarangeng (AM). Program marketing yang dilakukan lebih pada marketing mix, yakni 4P (product, promotion, price, place). Sedangkan lingkungan adalah segmentasi yang dituju. Ada tiga kategori produk politik yang dikemukakan oleh Niffenegger (Firmanzah, 2008:200), yakni platform partai/kandidat, catatan masa lalu, dan ciri pribadi. Platform (program) sebagai produk (product) politik yang ditawarkan oleh AM adalah tetap menjadikan PD sebagai partai tengah (Nasionalis-Religius) dan mempertahankan kemengangan PD di Pemilu 2014 sehingga muncul tagline iklan AM “Lanjutkan Kejayaan Demokrat”. 

Catatan masa lalu yang dalam iklan politik AM lebih menonjolkan kedekatannya dengan SBY selama enam tahun sebagai Juru Bicara dan Menteri Pemuda dan Olahraga serta kedekatannya dengan Ibas. Ciri pribadi yang ditonjolkan adalah cerdas dan memahami jalan pemikiran SBY. 

Promosi (promotion) yang dilakukan oleh AM adalah untuk membangun citra diri sebagai orang yang layak melanjutkan pemikiran SBY. Promosi juga berkaitan erat dengan pemilihan media karena tidak semua media tepat digunakan untuk promosi. Keterlibatan Fox Indonesia sebagai konsultan politik AM membuktikan apa yang dikatakan Wring dan Elebash (Firmanzah, 2008:203) bahwa tidak jarang institusi politik bekerja sama dengan sebuah agen iklan dalam membangun slogan, jargon, dan citra yang akan ditampilkan. 

Harga (price) dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis sampai ke citra/image nasional (Firmanzah, 2008:205). Harga ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan oleh kandidat (AM) selama periode kampanye mulai dari biaya iklan sampai biaya operasional tim sukses. Harga psikologis mengacu pada harga psikologis, dimana perasaan pemilih (DPC, DPD, dan DPP) kepada AM. Sedangkan harga citra/image lebih kepada perasaan pemilih (DPC, DPD, dan DPP) kepada AM apakah mampu memimpin PD kedepan dengan memberikan teladan yang baik kepada seluruh kader seperti yang dicontohkan oleh SBY. 

Tempat (place) berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih (Firmanzah, 2008:207). Program ini oleh AM kurang dimanfaatkan dengan baik karena lebih mengandalkan kemampuan berkomunikasi hanya melalui media kampanye yang digunakannya sehingga kehadirannya untuk mengujungi para kader di daerah kurang terlaksana ditambah lagi dengan kesibukanya sebagai menteri. Dari sisi lingkungan, segmentasi yang dituju oleh AM adalah dua segmen, yaitu khalayak umum dan dan kader PD khususnya pemilik hak suara dalam kongres (DPC, DPD, dan DPP). Namun investasi politik jangka panjang (Pemilu 2014) yang dibangun lebih gencar dilakukan dibanding dengan tujuan jangka pendek, yakni memenangkan pertarungan di Kongres II PD. Berbagai media kampanye AM khususnya media massa cetak dan media cetakan dapat dilihat pada table berikut:



I. Strategi Media Anas Urbaningrum


Berbeda dengan Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum adalah kandidat kedua yang mendeklarasikan diri untuk menjadi calon ketua umum Partai Demokrat periode 2010-2015. Deklarasi dilaksanakan terpaut sebulan dengan deklarasi AM, diliput secara langsung oleh TV One. Deklarasi Anas tidak dihadiri oleh banyak elite PD sebagaimana pada deklarasi AM yang dihadiri oleh menteri berasal PD. Suasana deklarasipun terbilang cukup ‘sederhana’ tetapi bersahaja dengan pembawaan Anas yang low profile. Ketidak hadiran elite PD khususnya SBY atau perwakilan keluarga dari Cikeas tidak membuat semangat Anas surut untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum PD.

Sejak mendeklarasikan diri, tidak banyak iklan politik Anas dimedia seperti halnya AM yang meluncurkan iklan politiknya diberbagai media. Tim sukses AM sempat mewacanakan posisi Sekretaris Jenderal PD untuk Anas sebagai tawaran dan memunculkan isu aklamasi. Namun semua itu ditanggapi secara halus baik oleh Anas maupun tim suksesnya.

Proses Perencanaan Media

Analisis penulis terhadap strategi media dalam marketing politik Anas Urbaningrum melalui empat tahap proses perencanaan media (strategi periklanan) sebagai berikut ini:

a. Tujuan Iklan

Tujuan iklan politik Anas sama seperti AM, yakni untuk membangun citra dimata publik secara umum dan secara khusus dimata para kader PD. Populeritas Anas memang kurang unggul di banding AM yang dibuktikan oleh hasil beberapa lembaga survey independen, tetapi Anas lebih populer dikalangan internal PD. Kepopuleran Anas diinternal PD karena didukung oleh jabatannya sebagai salah seorang Ketua DPP Bidang Politik tentunya memiliki ikatan emosional dengan para kader di daerah dan ditambah lagi pengalaman keorganisasiannya sebagai mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Karakter Anas yang santun juga menjadi salah satu keunggulannya dibanding dua pesaingnya, sehingga banyak pengamat politik mengemukakan bahwa Anas layak menjadi Ketua Umum PD periode 2010-2015 menggantikan Hadi Utomo karena karakter dan pembawaan Anas sama seperti karakter dan pembawaan SBY yang notabenenya adalah tokoh sentral di PD.

b. Anggaran Iklan

Penggunaan anggaran untuk biaya iklan politik Anas terbilang kecil kalau dibandingkan dengan anggaran iklan yang dikeluarkan oleh AM. Anggaran iklan politik tentu saja berasal dari dana pribadi atau sponsor. Pengunaan media kampanye terbatas dan frekuensi yang terbatas pula mendorong penggunaan anggaran untuk iklan politik Anas pun terbilang kecil. Dari perkiraan kasar penulis, anggaran iklan politik Anas tidak lebih dari sepuluh miliar rupiah.

c. Strategi Pesan

Strategi pesan dalam iklan Anas, penulis membaginya menjadi dua strategi, yakni strategi komunikasi dan strategi visual.

-   Strategi Komunikasi

Strategi komunikasi Anas dalam iklan politiknya sangat bijak dan bersifat rendah hati. Kalimat yang digunakan dalam iklan politik Anas adalah “Tepat Untuk Demokrat, Baik Untuk Rakyat”. Kalimat sederhana tetapi mengandung visi yang jauh kedepan, dimana kebaikan bagi rakyat adalah ketepatan platform Demokrat. Dalam iklan politik dimedia cetakan, Anas tidak terlalu menonjolkan namanya tetapi seimbang dengan tagline yang digunakan. Tagline ini konsisten digunakan diberbagai media kampanye Anas. Kalimat berbeda terdapat pada Spanduk dukungan untuk Anas yang dipasang di persimpangan Jl. Padalarang-Cianjur yang berbunyi “Mau ke Cianjur lewat Cipanas, Mau yang Jujur Pasti BUNG ANAS”.

-   Strategi Visual

Strategi visual dalam iklan politik Anas berbeda dengan kandidat lain, tulisan nama ANAS menggunakan bintang segitiga berwarna Merah Putih pada huruf A yang kedua antara N dan S. seperti diketahui bahwa bintang segitiga merupakan unsur visual yang terdapat dalam bendera PD. Pada strategi visual ini Anas masih menggunakan image foto dirinya dengan latar belakang kibaran bendera Merah Putih. Perbedaan mendasar pada visual yang digunakan Anas dan AM adalah jenis tipografi yang digunakan dan gambar diri masing-masing (Anas menggunakan image foto sedangkan Andi menggunakan ilustrasi vektor).

Gambar 4. Strategi Visual Iklan Politik Anas Urbaningrum 


a. Strategi Media 



-   Memilih Audience Sasaran 


Audience sasaran yang dituju dalam iklan politik Anas adalah seluruh masyarakat. Hal ini terlihat dari tageline yang digunakan “Tepat Untuk Demokrat, Baik Untuk Rakyat”. Pada iklan politik Anas di TV menggunakan endoser dari kalangan muda-mudi sehingga mencerminkan bahwa segmentasi diluar internal partai adalah kalangan pemuda dan citra yang ditampilkan adalah berjiwa muda. 

-   Menentukan Tujuan Media 

Dalam menentukan tujuan media, Anas tidak sekomplit AM yang lebih memfokuskan diri pada media. Iklan politik Anas tidak banyak dengan frekuensi yang terbatas, namun bobot dan kontinuitasnya tetap terjaga. Dari penggunaan media kampanye yang terbatas inilah membuat biaya iklan Anas lebih kecil disbanding AM karena dia menyadari bahwa audience sasaran sesungguhnya hanya 505 orang yang terdiri dari DPC, DPD, dan DPP. Adapun target audience secara umum itu adalah target jangka panjang. 

-   Pemilihan Media dan Sarana 

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa media kampanye Anas sangat terbatas tetapi tetap terwakili penggunaan medianya baik cetak maupun elektronik. Media cetak yang digunakan adalah surat kabar, media elektronik adalah TV serta media cetakan seperti billboard, baliho, spanduk, poster, dan balon udara. 

-   Pembelian Media (Waktu Tayang dan Tempat Iklan) 

Pembelian media dalam hal ini adalah pembelian waktu tayang (spot) iklan dimedia elektronik dan membeli halaman dimedia cetak. Iklan politik Anas dimedia elektronik khususnya TV menempati waktu tayang dijam-jam aktif (prime time) sebanyak 10 kali spot dalam seminggu selama kurang dari sebulan. Sedangkan dimedia cetak iklan politik Anas membeli halaman utama dengan pemakaian tempat setengah atau bahkan seperempat halaman. 

Proses Marketing Politik 

Proses marketing politik Anas relatif seimbang antara pemanfaatan media dan bertatap muka langsung dengan para kader di daerah yang memiliki hak suara di kongres. Platform (program) sebagai produk (product) politik yang ditawarkan oleh Anas tidak berbeda jauh dengan apa yang ditawarkan oleh AM, yakni tetap menjadikan PD sebagai partai tengah (Nasionalis-Religius) dan meningkatkan perolehan suara PD di Pemilu 2014 tetapi lebih mengedepankan kepentingan rakyat sehingga muncul tagline iklan “Tepat Untuk Demokrat, Baik Untuk Rakyat”. 

Anas tidak terlalu menujukkan catatan masa lalu, namun lebih kepada pembawaannya yang khas (lemah lembut dan santun) seperti pembawaan SBY. Promosi (promotion) yang dilakukan oleh Anas juga untuk membangun citra diri sebagai kader muda Demokrat dan memiliki sifat seperti Ketua Dewan Pembina PD. 

Tidak berbeda jauh dengan AM, harga ekonomi yang dikeluarkan Anas juga semua biasa selama periode kampanye mulai dari biaya iklan sampai biaya operasional tim sukses untuk kepentingan suksesi. Secara psikologis Anas lebih menekankan program ini, dimana kekuatan yang dibangun untuk sksesi dirinya adalah berbasis jaringan bukan berbasi media seperti yang diterapkan AM. Sedangkan harga citra/image lebih kepada perasaan pemilih (DPC, DPD, dan DPP), Anas menonjolkan kemiripan karakternya dengan pendiri partai sekaligus Ketua Dewan Pembina partai, yakni SBY sehingga membuat Anas terterima dibergai kalangan. 

Tempat (place) berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih atau calon pemilih (Firmanzah, 2008:207). Anas dan tim suksesnya lebih mengedepankan strategi ini untuk membangun jaringan kekuatan di daerah melalui DPC dan DPD dibanding AM dan tim suksesnya hanya mengandalkan media. Pertemuan Anas dengan kader-kader di daerah tentu dapat membangun ikatan emosional guna kondolidasi dukungan pemilih kepadanya di Kongres II PD. Walaupun segmentasi yang dituju adalah masyarakat umum, Anas tetap memperhatikan segmen utamanya, yaitu pemilik hak suara di kongres (DPC, DPD, dan DPP). Namun investasi politik jangka panjang (Pemilu 2014) juga tetap dibangun melalui iklan-iklan politik yang ada khususnya melalui media TV. Berbagai media kampanye Anas khususnya media massa cetak dan media cetakan dapat dilihat pada tabel berikut:

 



I. Strategi Media Marzuki Alie


Dari kedua calon kandidat ketua umum PD di atas, Marzuki Alie merupakan kandidat terakhir yang mendeklarasikan diri sehari sebelum pelaksanaan pembukaan Kongres II PD di Bandung 21-23 Mei 2010. Kemunculan Marzuki secara tiba-tiba, walaupun sebelumnya ada wacana untuk mencalonkan diri membuat kedua kubu yang ada sebelumnya lebih meningkatkan strategi dalam meraih dukungan. Walaupun mencalonkan diri diakhir menjelang kongres, Marzuki juga tetap memanfaatkan media massa khususnya TV untuk menayangkan iklan politiknya.

Proses Perencanaan Media

Berdasarkan analisis penulis terhadap strategi media dalam marketing politik Marzuki Alie melalui empat tahap proses perencanaan media (strategi periklanan) berikut ini:

a. Tujuan Iklan

Tujuan iklan politik Marzuki lebih kepada memberikan kesadaran kepada khalayak khususnya konstituen PD bahwa dirinya maju sebagai kandidat calon ketua umum PD periode 2010-2015. Pendukung dalam iklan politiknya adalah para pengurus DPD Jawa Timur yang merupakan basis massa pendukungnya.

b. Anggaran Iklan

Anggaran untuk iklan politik Marzuki terhitung lebih kecil dibanding dengan dua kandidat lain yang telah lebih dahulu mendeklarasikan diri dan berkampanye diberbagai media.

c. Strategi Pesan

Strategi pesan dalam iklan Marzuki, penulis membaginya menjadi dua strategi, yakni strategi komunikasi dan strategi visual.

-   Strategi Komunikasi

Strategi komunikasi yang digunakan dalam iklan politik Marzuki tidak terlalu istimewa dibanding strategi pesan politik AM dan Anas. Pada iklan politik Marzuki di TV para pendukungnya hanya mengucapkan “Kami Mendukung Marzuki Alie Sebagai Ketua Umum PD Periode 2010-2015” sedangkan kalimat pada stiker mobil tertulis “Komunitas Marzuki Alie Menuju Kongres II Partai Demokrat”. Dari kedua strategi komunikasi yang dibuat sebagai pesan politik tidak mengandung visi apapun kecuali informasi tentang kesiapan Marzuki sebagai calon ketua umum PD. 

-   Strategi Visual

Strategi visual dalam iklan politik Marzuki terkesan biasa saja tetapi menjadi berbeda dengan AM dan Anas. Bila AM dan Anas menggunakan latar belakang kibaran bendera Merah Putih, Marzuki menggunakan latar belakang Putih Biru mungkin lebih diasosiasikan dengan warna yang ada pada bendera PD. Hanya iklan Marzuki pula yang menggunakan nama lengkap seperti pada gambar berikut:

Gambar 5. Strategi Visual Iklan Politik Marzuki Alie 

a. Strategi Media 



-   Memilih Audience Sasaran 


Audiens sasaran yang dituju oleh Marzuki dalam iklan politiknya lebih fokus pada sasaran utama, yakni para peserta kongres yang mempunyai hak pilih walaupun secara implicit iklan politik itu berdampak secara luas bagi masyarakat yang tidak memiliki hak pilih dalam kongres atau masyarakat diluar PD. 

-   Menentukan Tujuan Media 

Mengamati penggunaan media untuk iklan politik Marzuki terlihat bahwa media bukan menjadi hal yang utama untuk meraih dukungan politik dari para peserta kongres. Hal inilah yang menjadi pembedanya dengan AM yang lebih mengutamakan media ketimbang yang lain sedangkan Anas cenderung lebih seimbang antara pemanfaatan media dan membangun jaringan di daerah. Frekuensi penayangan iklan politik Marzuki di TV lebih gencar pasca deklarasi pencalonannya sehari sebelum pembukaan kongres. 

-   Pemilihan Media dan Sarana 

Pemilihan media dan sarana untuk kepentingan kampanye dalam bentuk iklan politik Marzuki lebih memilih iklan televisi dan media cetak surat kabar serta stiker dan spanduk. 

-   Pembelian Media (Waktu Tayang dan Tempat Iklan) 

Pembelian waktu tayang untuk iklan politik Marzuki pada waktu aktif (prime time) hanya empat kali spot dan dimedia cetak hanya setengah halaman dalam bentuk ucapan atas gelar doktor yang diraihnya dari salah satu universitas di Malaysia. 

Proses Marketing Politik 

Proses marketing politik yang dilakukan oleh Marzuki bersama tim suksesnya lebih menekankan pada konsolidasi dukungan ke daerah-daerah untuk memastikan berapa besar yang dia peroleh walaupun belum mendeklarasikan pencalonannya sebagai calon ketua umum PD. Proses ini dinamakan push marketing dalam strategi marketing politik. Sedangkan dukungan media dan tokoh yang berbengaruh dijadikan sebagai pelengkap dari strategi push marketing yang diterapkan. 

Realita Hasil Kongres II Partai Demokrat 

Proses perencanaan media yang matang dan proses marketing politik yang apik ditambah dukungan kuat dari elite PD membuat opini masyarakat bahwa AM pasti akan terpilih menjadi Ketua Umum PD periode 2010-2015. Namun opini ini ibarat api jauh dari panggang karena AM mengalami kekalahan telak karena hanya memperoleh 82 suara sah atau 16 persen sehingga kurang dari 50% + 1 seperti yang diklaim oleh para tim suksesnya dengan memiliki dukungan lebih dari 400 DPC & DPD se Indonesia atau sekitar 85 persen tapi kenyataannya AM tidak lolos pemilihan putaran kedua. Pemilihan putaran kedua dilakukan karena masing-masing calon tidak ada yang mendapat suara lebih dari 50 persen (Anas 236 suara atau 45 persen, dan Marzuki 209 suara atau 40 persen). 

Dinamika politik yang terjadi sepanjang Kongres II PD memang mengejutkan banyak kalangan terutama atas kekalahan AM diputaran pertama. Keterkejutan banyak kalangan cukup beralasan karena AM merupakan kandidat pertama yang mencalonkan diri, deklarasinya dihadiri oleh elite PD, dukungan Ibas sebagai salah seorang tim sukses memberikan indikasi adanya dukungan dan restu SBY pada AM ditambah lagi dengan pemanfaatan media secara massif. 

Diakhir pemilihan putaran kedua menghasilkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum PD yang baru Periode 2010-2015 dengan perolehan suara sebesar 280 suara atau 53 persen dan Marzuki Alie sebesar 248 suara atau 47 persen. 

Hubungan Strategi Media dan Keterpilihan Kandidat 

Dari realitas hasil Kongres II PD di atas menujukkan bahwa tidak ada hubungan linear antara strategi media yang diterapkan AM secara gencar dengan mengesampingkan strategi lain, yakni strategi push marketing yang lebih menekankan kepada personal selling, dimana kehadiran sang kandidat dalam memberikan stimulus kepada calon pemilih sangat dibutuhkan guna membangun hubungan secara emosional atau brand relationship. 

Strategi push, pass, dan pull marketing dilakukan dengan baik dan seimbang olah Anas beserta tim suksesnya terutama jeda menjelang putaran kedua strategi push lebih gencar dijalankan untuk menarik suara AM karena secara simbolik dekungan AM kepada Marzuki mengindikasikan pengarahan suara AM kepada Marzuki. Pasca terpilihanya Anas menjadi Ketua Umum PD Periode 2010-2015, salah seorang tim sukses Anas mengatakan bahwa kubunya memadukan strategi kampanye AM dan Marzuki, yakni menggunakan media dan membangun jaringan. Hal ini dapat dikatakan bahwa antara proses perencanaan media dan proses marketing politik dilakukan secara seimbang dan terintegrasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 


PENUTUP


Kesimpulan 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi media bukan strategi yang utama untuk mencapai tujuan bila tidak dilakukan secara seimbang mulai dari proses perencanaan media dan proses marketing politik sehingga menjadi strategi yang terintegrasi sebagaimana strategi marketing politik, yakni push, pass, dan pull marketing. Apapun yang telah dihasilkan melalui Kongres II PD di Bandung pada Mei 2010 silam membuktikan adanya dua paradox politik seperti yang dikemukakan oleh Bima Arya Sugiarto, yakni kesadaran media (media awareness) dan dukungan akar rumput (grass root support). Ketiga kandidat calon ketua umum PD periode 2010-2015 telah menunjukkan kesadaran mereka terhadap pentingnya media sebagai sarana pendukung suksesi dan juga dukungan dari para pemilih. 


* Artikel ini adalah tugas makalah mata kuliah Strategi dan Perencanaan Media (Semester III) di Program Studi Ilmu Komunkasi Program Pascasarjana UNISBA di presentasikan bulan Desember 2010.


Daftar Referensi 

Blumler, Jay G. and Gurevitch, Michael (1995). The Crisis of Publik Communication. London and New York : Routledge.p.46 

Croteau, David & William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, and Audiences. California: Pine Forge Press. 

Firmanzah. 2008. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 

Heryanto, Gun Gun. 2009. Marketing Politik di Media Massa dalam Pemilu 2009. Jurnal KOMUNIKA. Volume 3. No.2. Juli-Des 2009. ISSN 1978-1261. 

Pawito. 2009. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra. 

Rivers, William L. et al. 2008. Media dan Masyarakat Modern (terj) Haris Munandar & Dudy Priatna. Jakarta: Kencana. 

Shimp, Terence A.. 2003. Periklanan & Promosi: Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu Edisi Kelima Jilid II. Jakarta: Erlangga. 

Talani, Noval S., Dicky Ahmad T., Ayub Dwi A. 2010. Media dan Dunia Politik: Peran Media Massa dalam Membangun Demokrasi Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Mata Kuliah Media Massa & Masyarakat Program Studi Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana UNISBA. 

Vivan, John. 2008. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan (terj) Tri Wibowo B.S.. Jakarta: Kencana 


http://enda.goblogmedia.com diakses pada 7 Desember 2010.


Majalah MIX (Marketing Xtra) Volume 01|VI|12 Januari – 8 Februari 2009.

Rabu, 01 Januari 2014



WACANA VISUAL ILUSTRASI KORUPSI DALAM RUBRIK OPINI KOMPAS PERIODE 2011*

Oleh:
Noval Sufriyanto Talani, Iman Sujudi, dan Acep Iwan Saidi
Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo dan FSRD Institut Teknologi Bandung


Abstract.

Illustration is a visual language which is used by mass media for commenting news or hot issues which develop in society. Editorial illustration for example, is not only an esthetic element at the rubric, but also can describe an attitude and media politic line which published it. During 2011 period, Kompas has been lightened up many corruption cases that still happened this day, not only through editorial illustration but also through an opinion article illustration to. Both of those illustrations put out the opinion rubric Monday-Saturday edition. This paper discusses how illustration meaning and the relation within the article, how the corruption’s information was shown through illustration and how publics’ interpretation to the corruption’s illustration which was put on the opinion rubric at Kompas during 2011 period. To discover the answer problems that is researched and to obtain the purpose which has settled, thus this research is using qualitative approach with discourse analysis method. Through this research, also found a process model of visual discourse construction.

Keyword: Corruption, Illustration, Opinion Rubric, Visual Discourse



*Artikel ini dimuat pada Jurnal "Imaji" Vol. 10. No. 2, Agustus 2012 hal 69-98 diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Seni UNY



PENDAHULUAN

Sebagai salah satu pemicu lahirnya gerakan reformasi, korupsi menarik perhatian serius dari berbagai kalangan termasuk media massa. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir pemberitaan tentang korupsi oleh media massa, baik cetak maupun elektronik mencerminkan semakin maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia dengan berbagai modus dengan lintas generasi. Pemberitaan skandal Bank Century, suap cek pelawat, korupsi pejabat pemerintah dan penegak hukum, kasus korupsi wisma atlet dan Hambalang adalah sebagian dari peristiwa korupsi yang diberitakan media massa. Informasi yang diproduksi media massa untuk disampaikan kepada khalayak sasaran (pembaca) disajikan melalui tulisan dan seringkali disertai gambar sehingga dapat dilihat dan dibaca (Madjadikara, 2005: 12 dalam Triandjojo, 2008: 20).

Ilustrasi merupakan gambar yang digunakan media cetak untuk menyampaikan pesan disamping pesan verbal. Dalam Dictionary of Media and Communication, gambar ilustrasi, figur, atau diagram yang digunakan untuk menjelaskan atau menghias sesuatu, terutama teks tertulis (Danesi, 2009: 154). Arnston (2006) berpendapat bahwa ilustrasi majalah dan surat kabar, selain berfungsi sebagai elemen estetis untuk artikel, juga untuk menyampaikan informasi tertentu dalam bentuk infografis. Pendapat lain mengenai ilustrasi, dikemukakan Ross (1963) seperti dikutip Aditia (2008: 25) menyatakan fungsi ilustrasi dalam sebuah tulisan awalnya merupakan gambar yang menjelaskan isi naskah, selain itu untuk memperindah penampilan rupa, dan juga untuk menambah daya tarik desain. Hal ini berarti bahwa ilustrasi merupakan pesan media yang ditampilkan secara visual dengan fungsi sebagai penyampai dan penjelas informasi, sebagai elemen estetis, dan menjadi daya tarik dalam desain.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karikatur yang digunakan surat kabar merupakan informasi berupa gambar yang bersifat sindiran ataupun kritik yang dikemas secara lucu dan humor sehingga tidak membuat orang yang disindir atau dikritik menjadi emosi. Dalam makalah ini, penulis mengunakan istilah ilustrasi untuk mencakup istilah karikatur dan kartun yang dipahami sebagai pesan media dalam bentuk gambar (visual). Penggunaan ilustrasi tentu tidak terlepas dari fungsinya untuk memudahkan pembaca memahami pesan yang disampaikan media massa. Pesan yang dikomunikasikan melalui media gambar atau visual dapat diterima dengan cepat dan berkesan (Kusmiati, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pesan visual dapat menyederhanakan pesan verbal yang disampaikan atau dengan teknik tertentu lebih menguatkan pesan verbal dan meyakinkan khalayak

Harian umum (HU) Kompas adalah salah satu media massa cetak yang menggunakan ilustrasi sebagai teks visual pembawa pesan yang terbit diberbagai rubriknya pada edisi Senin–Sabtu dan edisi Minggu. Rubrik Opini adalah salah satu rubrik yang rutin dan konsisten menampilkan ilustrasi bersamaan dengan teks opini yang dimuat. Rubrik Opini terbit pada edisi Senin-Sabtu. Dalam rubrik ini terdapat lima ruang yang dibagi dalam dua halaman (6 dan 7), yakni ruang tajuk rencana (editorial), artikel opini, pojok, surat pembaca, dan iklan. Sebagai teks visual, ilustrasi yang dimuat dalam rubrik Opini berupa ilustrasi editorial dan ilustrasi artikel opini. Setiap edisi terbit Senin-Sabtu, selalu terdapat dua ilustrasi yang diterbitkan Kompas dalam rubrik Opini, baik itu ilustrasi editorial dengan ilustrasi artikel opini atau kedua-duanya adalah ilustrasi artikel opini yang diletakkan pada masing-masing halaman (lihat Gambar 1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Ilustrasi Editorial dan Ilustrasi Artikel Opini
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0 (Kompas Edisi Selasa, 2 November 2011 diakses 18 November 2011)


Gambar 2. Ilustrasi Artikel Opini


Banyaknya opini korupsi yang dimuat Kompas membuktikan bahwa kasus-kasus tersebut mendapat perhatian masyarakat dan menjadi fenomena sosial di Indonesia saat ini. Beragam visualisasi ilustrasi telah diterbitkan Kompas untuk menggambarkan korupsi. Penggunaan tanda-tanda dalam ilustrasi untuk memvisualisasikan korupsi merupakan hasil penafsiran ilustrator Kompas terhadap suatu situasi yang sedang terjadi dan didasarkan pada isu-isu penting untuk dimuat. Rivers dkk. (2008: 228) mengemukakan bahwa peran media sebagai penafsir informasi memiliki kedudukan yang sama penting dengan perannya sebagai penyampai informasi. Hal ini menunjukkan, pesan dalam ilustrasi tidak terlepas dari konteks situasi yang berkembang di masyarakat dan penggunaan tanda-tanda sebagai pembawa pesan mewakili situasi yang diinformasikan. Selain itu, pemilihan sumber daya semiotik untuk menggambarkan peristiwa korupsi dapat menunjukkan sikap Kompas terhadap isu korupsi yang diopinikan.

Fakta ini memunculkan beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji dan dibahas lebih mendalam, yakni: Bagaimana makna ilustrasi dan relasinya dengan artikel dalam rubrik Opini Kompas periode 2011?; Bagaimana informasi korupsi ditampilkan dalam ilustrasi?; Bagaimana interpretasi khalayak pada ilustrasi korupsi yang dimuat Kompas di rubrik Opini selama periode 2011?

Penelitian ini akan membahas ketiga masalah tersebut secara runut agar dapat mengidentifikasi tanda-tanda yang digunakan untuk memvisualisasikan korupsi, mendes-kripsikan makna ilustrasi, mengetahui relasi antarteks, mengetahui posisi ilustrasi dalam rubrik, mengetahui nilai informasi yang ditampilkan dalam ilustrasi, dan mengetahui dan memahami cara khalayak menginterpretasi teks visual media massa khususnya ilustrasi korupsi yang dimuat dalam rubrik Opini Kompas selama periode 2011.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini secara umum adalah penelitian seni rupa dan desain yang menjadikan ilustrasi sebagai objek kajian agar menghasilkan sebuah deskripsi pemahaman mendalam tentang ilustrasi di media massa khususnya dalam rubrik opini. Sehingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana. Dari data teks visual (ilustrasi) yang terkumpul, terdapat 74 ilustrasi korupsi yang diterbitkan Kompas dalam rubrik Opini selama periode 2011. Ilustrasi-ilustrasi tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh tema, tapi dalam makalah ini yang dibahas hanya satu tema saja, yaitu tema korupsi makin sempurna. Analisis teks visual dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah analisis visual. Tahap ini dilakukan untuk mencari makna ilustrasi, menemukan relasi antarteks (visual/ilustrasi dan verbal/artikel). Dan tahap kedua adalah analisis wacana yang diambil dari data hasil perbincangan dengan 11 orang khalayak melalui diskusi kelompok fokus (10 orang mahasiswa) dan wawancara (seorang kartunis).

Makna yang diungkap melalui analisis visual mengikuti Kress dan van Leeuwen yang memandang sebuah gambar dalam komunikasi visual memiliki tata bahasa yang mereka sebut dengan “tata bahasa visual”. Cara elemen-elemen visual digambarkan––orang, tempat dan hal lainnya––menggabungkan pernyataan-pernyataan visual yang memiliki kompleksitas lebih besar atau lebih rendah dan ekstensinya adalah cara penjelasan dalam tata bahasa visual, sama seperti bahasa yang menggambarkan bagaimana kata-kata menggabungkan klausa, kalimat dan teks (Kress dan van Leeuwen, 2006: 1). Menurut keduanya, banyak studi yang mengabaikan tentang “tata bahasa visual.” Dalam tata bahasa visual Kress dan van Leeuwen, mencari makna sebuah desain visual dapat diperoleh melalui makna representasional yang melihat struktur naratif dan struktur konseptual, makna interaktif yang menelaah jarak, kontak antar partisipan, dan point of view, serta makna komposisi yang melihat nilai informasi, pembingkaian, dan ciri khas dalam visual. Ketiga makna itu yang membentuk makna sebuah desain visual. Sama seperti Kress dan van Leeuwen, Neil Cohn juga memandang visual sebagai sebuah bahasa disamping bahasa verbal (yang ditandai dengan suara) dan bahasa non-verbal (yang ditandai dengan gerakan). Bahkan lebih jauh Cohn (2007: 35) dalam makalahnya Visual Lexicon membahas berbagai tingkat representasi dalam bahasa visual dengan tujuan mencari arti yang dimiliki item leksikal visual yang secara spesifik bahasa visual komik.

Wacana dalam penelitian ini dipahami sebagai pemroduksian gagasan, tema, topik atau konsep yang memiliki dampak pada perubahan struktur sosial. Sebuah opini yang diterbitkan media massa menjadi contoh bagaimana sebuah gagasan, topik atau tema yang diproduksi dan pada akhirnya membawa dampak perubahan ketika opini tersebut membentuk pemahaman sosial. Pada analisis visual, makna yang dihasilkan berdasarkan interpretasi peneliti terhadap objek visual ilustrasi yang ditelaah sebagai bentuk praktik kewacanaan melalui pemroduksian teks (wacana) oleh media massa. Sedangkan pada analisis wacana ini, makna yang dihasilkan berdasarkan interpretasi terhadap hasil perbincangan khalayak mengenai visual ilustrasi opini sebagai bentuk praktik sosial melalui pengonsumsian teks (wacana). Manusia mempersepsi dan menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif, karena melalui struktur diskursif ini, objek dan peristiwa menjadi nyata (Eriyanto, 2009: 73).

Wacana dalam pandangan Fairclough menekankan adanya hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial lainnya. Di mana “wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial lainnya” (Jorgensen dan Phillips, 2007: 122-123). Meskipun dalam penelitian ini menggunakan model analisis wacana dari Fairclough, akan tetapi pada interpretasi teks visual, metode analisisnya seperti telah dikemukakan sebelumnya. Sehingga kerangka analisis dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model analisis wacana Fairclough yang peneliti sebut dengan kerangka analisis wacana visual dan penerapannya bersifat kontekstual (pada penelitian tesis ini). Model kerangka analisis wacana visual tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Kerangka Analisis Wacana Visual


KAJIAN TEORI

Teori yang digunakan sebagai rujukan adalah teori wacana yang dikemukakan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe dan teori wacana kritis yang dikemukakan Norman Fairclough. Istilah wacana dalam teori wacana Laclau dan Mouffe adalah satu dari dua konsepnya, yakni wacana dan medan kewacanaan. Istilah wacana digunakan untuk makna yang ditetapkan secara parsial. Sedangkan medan kewacanaan merupakan surplus makna, peniadaan segala sesuatu dari wacana khusus (Jorgensen dan Phillips, 2007: 107). Dalam konsep teoretis Laclau dan Mouffe ada empat hal yang saling berhubungan, yakni artikulasi, wacana, momen, dan unsur.

Pemikiran Fairclough tentang analisis wacana kritis sangat dipengaruhi oleh pemikiran Halliday, Fowler, dan Foucault. Dalam pandangan kritis, wacana dibangun dari teks dan konteks. Di mana “teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks.” Hal ini berarti teks sebagai medium wacana. Penggambaran teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi adalah fokus perhatian analisis wacana, karena wacana diproduksi, dimengerti, dan diinterpretasi dalam konteks tertentu (Santoso, 2008: 10-12). Konsep wacana Fairclough menitikberatkan pada praktik sosial, karena menurutnya pengetahuan, identitas, dan hubungan sosial diproduksi dan diubah secara sosial, sehingga “wacana memiliki hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial lainnya” termasuk praktik “jurnalisme dan hubungan masyarakat” bersifat kewacanaan (Jorgensen dan Phillips, 2007: 122-123).

Berbeda dengan Laclau dan Mouffe yang memandang semua praktik sosial adalah wacana, Fairclough membatasi istilah wacana pada sistem semiotik bahasa dan pencitraan. Pengonstruksian identitas sosial, hubungan sosial, dan sistem pengetahuan dan makna merupakan kontribusi yang diberikan oleh wacana. Selain teori wacana, teori komunikasi juga digunakan untuk melihat proses komunikasi yang termediasi khususnya cara media menyampaikan pesan kepada khalayak. Menurut Sobur (2009: 48) merumuskan analisis wacana sebagai “studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.” Dalam semiotika sosial, dunia yang dikonstruksi secara sosial direpresentasikan melalui bentuk-bentuk bahasa yang terkodekan. Menurut Theo van Leeuwen, membahas semiotika sosial berkaitan erat dengan dua isu, yaitu sumber daya material komunikasi dan cara penggunaannya diatur secara sosial.

Dari pandangan ini van Leeuwen mendefinisikan wacana dengan perhatiannya pada bentuk jamak, dimana wacana sebagai pengetahuan sosial dibangun dari beberapa aspek realitas. Dengan konstruksi sosial, pengetahuan telah dikembangkan dalam konteks sosial tertentu, dan dengan cara yang sesuai dengan kepentingan para pelaku sosial dalam konteks ini (van Leeuwen, 2005: 93). Perspektif resepsi mengonsep-tualisasikan khalayak sebagai yang aktif dan teks sebagai yang tidak menentu, dan makna dipandang sebagai milik teks dan pembaca. Hal ini memberi gagasan bahwa makna adalah sesuatu yang dibuat, atau dibentuk dalam interaksi teks dan pembaca (Barbatsis dalam Ken dkk., 2005: 271).

Kehadiran ilustrasi bersamaan dengan teks artikel dalam rubrik Opini Kompas merupakan intertekstualitas yang membentuk wacana media. Intertekstualitas mengacu pada cara bahwa makna dari setiap gambar atau teks satu diskursif tidak hanya tergantung pada satu teks atau gambar, tetapi juga pada makna yang dibawa oleh gambar lain dan teks (Rose, 2001: 137). Intertekstualitas dalam pandangan Fairclough yang mengembangkan pemikiran Julia Kristeva dan Michael Bakhtin mengemukakan bahwa istilah intertekstualitas adalah “teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya” (Eriyanto, 2009: 305).

Perkembangan teknologi cetak masa kini mendorong produksi intertekstualitas dalam media massa menjadi hal yang lumrah. Mengadopsi konsep intertekstualitas di atas, kehadiran teks visual (ilustrasi) dan teks verbal (tulisan) dalam rubrik Opini Kompas adalah contoh bagaimana kedua teks tersebut disandingkan dalam satu medium. Visual ilustrasi dalam penelitian tesis ini dapat dipahami sebagai kode visual yang digunakan Kompas dalam rubriknya untuk memberikan informasi kepada khalayak (pembaca). Dalam konteks wacana visual, ilustrasi tersebut mengartikulasikan berbagai wacana-wacana yang dibangun oleh media massa. Kode-kode visual yang digunakan pada ilustrasi merupakan hasil interpretasi terhadap suatu fenomena yang terjadi dalam praktek sosial tertentu. Melalui kode ini diharapkan khalayak pembaca dapat mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digambarkan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengungkap makna ilustrasi, pembacaan visualnya merujuk pada pendapat Kress dan van Leeuwen mengenai makna dalam tata bahasa visual. Mengikuti pendapat keduanya, makna yang diungkap adalah makna representasional, makna interaksi, dan makna komposisi yang tampil dalam desain visual ilustrasi. Untuk mencari makna representasional menurut Kress dan van Leeuwen (2006: 45) dapat ditelusuri melalui struktur naratif dan struktur konseptual visual ilustrasi. Makna interaksi dibentuk oleh adanya kontak dan jarak antara partisipan dengan viewer serta adanya point of view dalam ilustrasi. Sedangkan makna komposisi dapat diungkap dari nilai informasi, ciri khusus, dan pembingkaian (framing) yang terdapat dalam ilustrasi. Makna-makna ini kemudian direlasikan untuk memperoleh makna keseluruhan dari ilustrasi. Pembacaan ilustrasi bukan hanya sekedar melihat objek apa yang digambar, tetapi juga melihat bagaimana objek itu digambarkan atau oleh Tabrani (2005: 9) disebut dengan wimba (imaji yang kasat mata). Dalam wimba, kata Tabrani, selalu terdapat isi wimba (apa yang digambar) dan cara wimba (cara objek gambar itu digambar). Sebagai sebuah karya rupa, ilustrasi tentu pula memiliki isi wimba dan cara wimba. Walaupun dalam analisis membaca wimba, tetapi pengungkapan makna tetap mengacu pada pandangan Kress dan van Leeuwen.

Tema: Korupsi Makin Sempurna
Gambar 4. Ilustrasi Editorial Karya Jitet


Ilustrasi editorial karya Jitet ini dimuat Kompas pada edisi Rabu, 18 Mei 2011. Dalam ilustrasi terdapat dua tata ungkap yang digunakan ilustrator untuk menyampaikan pesan, yaitu tata ungkap verbal dengan memanfaatkan tulisan atau huruf dan tata ungkap visual (gambar). Tata ungkap visual sangat dominan dalam ilustrasi yang terdiri dari elemen bidang segi empat dengan tonal gelap sebagai latar belakang, tiang bendera dari bambu, bendera yang penuh tambalan, lubang, dan robek terlihat sedang berkibar, dibalik bendera terdapat lembaran uang dan siluet figur anonim dengan beberapa mata melihat kearah lembaran uang, dan dua figur orang sedang berbicara. Sedangkan tata ungkap verbal terdapat pada tiga buah tambalan bendera dengan tulisan “EKSEKUTIF”, “LEGISLATIF”, “YUDIKATIF” pada masing-masing tambalan, teks dialog “MAKIN SEMPURNA APANYA? MERAKYATNYA?” dan “KORUPSINYA.”

Tata ungkap visual dan verbal adalah elemen-elemen yang dihadirkan ilustrator untuk membawa pesan massa. Kehadiran keduanya bukan untuk saling meniadakan melainkan saling mendukung agar pesan menjadi mudah dipahami. Akan tetapi, cara elemen-elemen tersebut dihadirkan juga menjadi penting untuk diketahui, karena bagi Tabrani, visual bukan hanya dilihat dari apa yang ditampilkan, tetapi juga bagaimana ia ditampilkan. Dalam kartun, makna akan terbangun dari dialog gambar dan tulisan (Sunarto, 2005: 27). 

Pada ilustrasi editorial di atas, kehadiran bendera yang berkibar dengan segala informasi di dalamnya menjadi penting bagi kehadiran dua figur orang disampingnya. Karena dengan kehadiran bendera tersebut, konteks pembicaraan kedua figur dapat diketahui. Jadi, struktur naratif ilustrasi dimulai dari bendera 
yang bertuliskan “EKSEKUTIF”, “LEGISLATIF”, “YUDIKATIF” sebagai tambalan, memiliki banyak lubang dan pada tiga lubang yang besar terdapat lembaran uang sedangkan dibaliknya terdapat siluet figur anonim dengan mata seperti sedang mengamati. Teks “MAKIN SEMPURNA APANYA? MERAKYATNYA?” dan teks “KORUPSINYA” merupakan pernyataan dari masing-masing figur di bawah teks tersebut. Kedua figur memperlihatkan ekspresi wajah dan sikap yang berbeda. Figur 1 terkesan sangat serius dengan ucapannya, sedangkan figur 2 terkesan datar atau santai menanggapinya. Dari pernyataan kedua figur ini pula diketahui bahwa yang menjadi topik perbincangan keduanya adalah persoalan korupsi yang makin sempurna. 

Persoalan korupsi yang diperbincangkan kedua figur sebenarnya mengarah pada informasi yang terdapat dalam bendera. Antara figur dan bendera dihubungkan oleh sebuah vektor, dimana kedua figur orang (partisipan dari mana vektor berasal) berperan sebagai aktor dan bendera (partisipan dimana titik vektor) berperan sebagai tujuan (Kress dan van Leeuwen, 2006: 50). Yang menjadi vektor dalam ilustrasi di atas adalah posisi tangan figur 1 yang mengarah ke bendera. Vektor ini yang menjadi struktur konseptual dari ilustrasi. Penanda “EKSEKUTIF”, “LEGISLATIF”, “YUDIKATIF” merepresentasikan tiga lembaga negara yang menjadi pilar demokrasi. Ketiga lembaga ini yang menjadi rujukan atas perbincangan kedua figur mengenai makin sempurnanya korupsi. Jadi, dari penanda teks tersebut dapat dipahami bahwa bendera usang yang berlubang, penuh tambalan, dan robekan yang semakin mendekati pangkalnya adalah sebagai metonimi dari sebuah negara yang sedang mengalami kerusakan dan pengeroposan pada pilar-pilarnya karena korupsi. Maka makna representasional dari ilustrasi adalah korupsi yang dilakukan tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) menjadikan korupsi di negeri ini semakin sempurna. 

Sikap yang ditunjukkan oleh kedua figur dalam ilustrasi sebenarnya dapat mewakili sikap masyarakat yang merasa skeptis dengan semakin maraknya korupsi yang melibatkan lembaga-lembaga negara. Sikap figur 2 dapat menjadi representasi dari sikap masyarakat tersebut. Teks “MERAKYATNYA?” menjadi representasi dari harapan masyarakat agar para pejabat negara lebih memerhatikan dan mendekatkan dirinya dengan rakyat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, mereka terjebak pada tindakan korupsi. Ukuran bendera yang relatif besar dibanding elemen visual lainnya, maka bendera menjadi point of view dari elemen visual dan informasi yang dibawanya menjadi penting. Sedangkan tulisan “KORUPSINYA” adalah point of view dari elemen verbal. Semakin rusaknya bendera yang sedang berkibar ditandai oleh banyaknya lubang, tambalan, dan robekan-robekan pada kain bendera memberi makna interaktif bahwa negara mengalami kerusakan dan kehancuran disebabkan makin meluasnya korupsi yang menjangkiti lembaga-lembaga negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Korupsi terus merong-rong dan menghantui eksistensi negara melalui lembaga perwakilannya. 

Makna komposisi berkaitan dengan makna representasional dan interaktif dalam ilustrasi yang satu sama lain melalui tiga sistem yang saling terkait, yaitu nilai informasi, ciri khusus, dan pembingkaian (Kress dan van Leeuwen, 2006: 177). Penggambaran tiang bendera yang miring menjadikan komposisi dalam ilustrasi tidak seimbang dan terkesan tidak stabil. Kemiringan ini memperlihatkan adanya angin yang sangat kencang menerpa bendera. Dengan ukuran yang relatif besar, nilai informasi dalam bendera menjadi sangat dominan dan sorotan dalam ilustrasi. Ketidakteraturan penyusunan tambalan (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) menambah kesan ketidakstabilan pada masing-masing lembaga yang direpresentasikan. Dalam ilustrasi terdapat metafora segar (lihat Sunarto, 2005: 125) pada elemen bendera. Teks “EKSEKUTIF, LEGISLATIF, dan YUDIKATIF” sebenarnya merupakan kendaraan yang digunakan ilustrator untuk mengalihkan pernyataan “MAKIN SEMPURNA.” Kalimat tanya “MAKIN SEMPURNA APANYA?” menjadi petunjuk bahwa ada kalimat “MAKIN SEMPURNA” hadir sebelumnya. Misalnya, teks “EKSEKUTIF, LEGISLATIF, dan YUDIKATIF” tidak digunakan, maka dapat dipastikan nilai informasi dalam ilustrasi menjadi berkurang. Dan apa yang membuat korupsi makin sempurna menjadi tidak jelas. Di sini kehadiran teks “EKSEKUTIF, LEGISLATIF, dan YUDIKATIF” jadi nilai informasi spesifik dan signifikan dari ilustrasi. Ilustrasi editorial karya Jitet di atas memiliki ciri khusus dalam komposisinya. Walaupun figur orang ditampilkan dengan medium shot, penempatannya dalam komposisi berada di latar depan, kemudian disusul visualisasi bendera, dan latar belakang gelap. Melalui ukurannya yang lebih besar, objek bendera menjadi ciri menonjol dari ilustrasi. Pembingkaian dilakukan ilustrator melalui pesan yang disampaikan. Pertama, pembingkaian pesan dalam bendera. Kedua, pembingkaian dua figur orang dan pesan teks dialognya. Selanjutnya kedua pembingkaian pesan itu disatukan ke dalam satu pembingkaian gambar dengan hadirnya latar belakang gelap. Dari komposisi di atas, maka makna ilustrasi adalah semakin maraknya korupsi yang melibatkan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif membuat negara tersandera oleh korupsi itu sendiri dan membuat masa depan negara semakin suram. 

Berdasarkan uraian di atas, maka konteks situasi yang digambarkan dalam ilustrasi adalah korupsi telah merambah lembaga-lembaga negara, baik lembaga pemerintahan (Eksekutif), lembaga perwakilan rakyat (Legislatif), dan lembaga penegak hukum (Yudikatif). Keterlibatan ketiga lembaga negara itu tentu membawa dampak kerusakan pada keberlangsungan kehidupan bernegara karena ketiga lembaga negara tersebut menjadi pilar penyelenggaraan negara. Perhatian dan kepedulian terhadap rakyat seharusnya menjadi landasan penyelenggaraan negara, tetapi yang terjadi justru korupsi telah menggerogoti lembaga yang seharusnya menjadi pilar demokrasi yang bersih dari korupsi. 

Relasi Ilustrasi dengan Teks Artikel dalam Rubrik Opini Di atas telah diuraikan makna yang terungkap dibalik ilustrasi, baik itu makna representasional, makna interaktif maupun makna komposisi. Makna-makna tersebut membantu untuk melihat relasi antara ilustrasi sebagai teks visual dengan artikel sebagai teks verbal. Pada bagian ini dibahas juga beberapa ilustrasi yang masuk dalam kelompok tema “Korupsi Makin Sempurna”. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui bagaimana ilustrasi dan artikel itu terhubung dan juga mengetahui elemen apa yang digunakan dalam visual ilustrasi untuk menggambarkan relasinya. Karena ilustrasi-ilustrasi yang dikaji tak memiliki caption, maka untuk memudahkan pembahasan, penyebutan ilustrasi berdasarkan nomor pada tabel yang telah dibuat. Selain itu, layout pada setiap artikel (tajuk rencana dan artikel opini) dibagi ke dalam lima bagian untuk membantu mengetahui di bagian mana relasi itu tercipta. Kelima bagian itu antara lain judul, lead, pengantar/pendahuluan, isi/pembahasan, dan penutup. Yang dimaksud dengan lead adalah paragraf pertama artikel yang biasanya ditandai dengan adanya drop cap. Pengantar/pendahuluan adalah satu atau dua paragraf setelah lead. Sedangkan yang dimaksud penutup adalah satu atau dua paragraf terakhir. Selain itu dianggap sebagai isi/pembahasan artikel.

Tabel 1. Ilustrasi Editorial dan Ilustrasi Artikel dengan Tema
“Korupsi Makin Sempurna”


Dari tabel di atas diketahui bahwa edisi terbit ilustrasi-ilustrasi tersebut, yaitu edisi Senin, Rabu, Jumat, dan Sabtu. Adapun ilustratornya antara lain Jitet, Handining, dan Didie SW.

Berdasarkan makna yang terungkap, ilustrasi no 1 di atas memiliki relasi dengan artikel tajuk rencana “Melihat Lagi Reformasi” dan artikel opini “Korupsi dan Demokrasi” (Kompas 18/05/2011). Relasi ilustrasi dengan artikel tajuk rencana tercipta melalui isi/pembahasan artikel. Hal ini dapat dilihat dari pembahasannya mengenai lahirnya reformasi yang ditandai oleh berakhirnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto karena dituduh korup, sehingga elite politik saat itu “berupaya mendesain Indonesia yang demokratis dan bersih dari korupsi.” Redaksi juga menyoroti persoalan mengenai banyaknya lembaga baru yang terbentuk pasca reformasi, namun tidak membawa banyak manfaat bagi masyarakat karena dibentuk tanpa desain dan korupsi juga tak berkurang. Sedangkan relasi ilustrasi dengan artikel opini terlihat hampir disemua bagian artikel, kecuali dibagian lead tidak terlihat relasinya. Di bagian pengantar/pendahuluan artikel terlihat jelas dari uraian penulis tentang terus tumbuhnya korupsi yang dibarengi oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas dan kinerja lembaga demokrasi khsusunya lembaga politik (parpol dan parlemen) dan juga lembaga hukum. Penulis memberi contoh terkuaknya kasus korupsi di Kemenpora yang melibatkan pejabat Kemenpora, anggota dewan sekaligus petinggi partai Demokrat, menjadi fenomena kian mapannya korupsi politik.

Makin masifnya korupsi yang melibatkan berbagai lembaga demokrasi, menjadikan negara dalam bahaya korupsi yang tak terkendali. Terkadang kasus-kasus korupsi menjadi komoditas politik di lembaga Legislatif, sesaat mencuat kepermukaan, kemudian hilang begitu saja atau tergantikan oleh kasus-kasus lainnya. Fenomena ini membuat penulis artikel menilai, bahwa setelah 13 tahun reformasi, “reformasi birokrasi dan politik gagal menyingkirkan rezim korupsi, tetapi hanya mentransformasi bentuk korupsi seiring perubahan struktur kekuasaan pasca-Pemilu 1999.” Dengan mengutip pendapat Vedi Hadiz, penulis menyatakan “kelembagaan demokrasi produk reformasi telah dibajak elite predator”. Dibagian akhir penulis menutup dengan pernyataan: 

Apabila korupsi jadi bahan bakar utama untuk menggerakkan mesin demokrasi, dalam jangka panjang keadaan ini akan melanggengkan sistem yang korup. Indonesia bahkan bisa terpuruk dalam situasi yang lebih kleptokratik, yaitu para penguasa merampok dengan lahap kekayaan negaranya sendiri, bergelimang kemewahan di tengah rakyatnya yang miskin (Kompas 18/05/2011). 

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ilustrasi editorial yang dimuat bersamaan dengan artikel-artikel tersebut memiliki hubungan untuk saling melengkapi dan menguatkan. Sehingga posisi ilustrasi tersebut dalam rubrik Opini Kompas menjadi pelengkap dan penguat artikel. Ilustrasi menjadi pelengkap pesan bagi artikel tajuk rencana, sedangkan untuk artikel opini, ilustrasi menjadi penguat pesannya. Hal ini terlihat dari elemen visual tambalan bendera yang merepresentasikan lembaga-lembaga demokrasi (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Begitu pula dengan visualisasi bendera yang robek, berlubang dan penuh tambalan menjadi penguat pesan artikel dibagian penutup sebagaimana kutipan di atas. Sedangkan penggunan latar belakang gelap dan adanya visual siluet mata dibalik bendera dapat menguatkan pesan dari pembajakan oleh elite-elite predator pada kelembagaan demokrasi yang ada. Selain ilustrasi no 1 yang menggambar-kan makin sempurnanya korupsi dengan melibatkan berbagai lembaga negara. Beberapa ilustrasi (editorial dan artikel) juga menampilkan korupsi yang dilakukan oleh lembaga negara. Seperti ilustrasi no 2 (Kompas 15/06/2011) mengungkap meluasnya korupsi lewat dialog antara partisipan mewakili dengan menggunakan tiga panel gambar. Dalam dialog, yang disoroti oleh figur 1 adalah persoalan pemerataan dan ditanggapi oleh figur 2 bahwa pemerataan sudah terjadi, yakni merata “KORUPSINYA!”. Ilustrasi ini tidak memiliki hubungan dengan artikelnya, baik dengan artikel tajuk rencana maupun artikel opini. Sehingga posisi ilustrasi dalam rubrik sebagai pesan yang berdiri sendiri. Lain lagi dengan ilustrasi no 3, melalui tiga panelnya, ilustrasi ini mengungkap pesan tentang merajalelanya korupsi tetapi mendapatkan tanggapan dingin dari penguasa. Namun, ketika dikatakan kursi(kekuasaan)nya miring langsung mendapat respons serius. Ilustrasi ini menjadi gambaran bahwa korupsi bukan lagi sesuatu yang mendapat tanggapan serius dibanding dengan kekuasaan. Apalagi adanya artikel opini “Bongkar Tuntas Korupsi Yudisial” dan “Kepala Daerah Kok Masih Korupsi?” memperlihatkan relasinya dengan ilustrasi. Artikel-artikel tersebut menguraikan korupsi yang dilakukan oleh kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dari relasi yang terbangun, ilustrasi menempati posisi sebagai pelengkap dan penguat pesan artikel opini khususnya artikel kedua. 

Pada ilustrasi no 4 digambarkan seorang figur berjas yang berkepala uang kertas memegang garpu dan dan tameng yang terdapat lembaran-lembaran uang dan bertuliskan “Oknum” sedang duduk menindih tengkorak dengan sebuah papan bertuliskan “HAM”. Di depannya terdapat meja yang di atasnya ada potongan tanah, rumah, dan pepohonan. Dua figur orang di bawahnya memperlihatkan ekspresi heran dan terkejut melihat perilaku figur di depannya. Ilustrasi ini sangat erat hubungannya dengan artikel opini yang berjudul “Pembangunan dan Korupsi” (Kompas 28/12/2011). Hubungan terjadi di bagian isi/pembahasan artikel terutama pembahasan yang menyoroti masalah HAM, sehingga elemen visual papan yang bertuliskan HAM menjadi penanda hubungan antara ilustrasi dengan teks artikel. Dari hubungan tersebut, maka posisi ilustrasi dalam rubrik sebagai penguat pesan artikel sekaligus mengamplifikasi pesan dengan adanya elemen visual tengkorak, uang kertas menjadi kepala, dan adanya potongan tanah, rumah, dan pepohonan yang seolah-olah siap “disantap”. 

Ilustrasi-ilustrasi di atas adalah ilustrasi editorial, sehingga tidak mutlak harus berhubungan langsung dengan artikel. Sedangkan ilustrasi artikel opini selalu terkait dengan artikelnya. Dari hasil temuan, pada tema ini terdapat beberapa ilustrasi artikel opini yang menampilkan korupsi di lembaga-lembaga negara terutama korupsi di lembaga eksekutif. Seperti ilustrasi no 8 (Kompas 15/01/2011) menggunakan visualisasi buku sebagai metafora visual dari pengetahuan/pendidikan karena artikel opini yang dimuat membahas tentang bantuan operasional sekolah dengan judul artikel “Skandal Dana BOS”. Sebagai bentuk metafora, hubungan ilustrasi terlihat hampir disemua bagian layout artikel, baik judul, lead, pengantar, isi, dan penutup. Ilustrasi ini mengamplifikasi pesan dalam artikel, sebab secara konotatif, ilustrasi dapat dimaknai sebagai buruknya dunia pendidikan yang menjadi lahan korupsi bagi pengelolanya yang ditandai oleh visualisasi bentuk buku seperti celengan dan penuh dengan lubang tikus. Begitu pula dengan ilustrasi no 9 (Kompas 11/02/2011). Dengan artikel opini berjudul “Halo ‘Rekening Gendut’”, divisualisasikan dengan sebuah brankas uang yang melebihi kapasitas sampai salah satu lembar uangnya menyendul keluar dibalik celah brankas. Elemen visual gembok dan rantai mengindikasikan bahwa isi brankas tersebut berusaha ditutup-tutupi. Melihat visualisasinya, ilustrasi masih menjadi metafora visual dari rekening gendut.

Karena brankas memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan uang dan gambarnya terlihat melebihi kapasitas, maka dapat disimpulkan bahwa kata rekening gendut menjadi rujukan dari ilustrasi. Ilustrasi ini memiliki hubungan yang kuat dengan judul dan penutup artikel karena judul dan kalimat terakhir artikel sama, yakni “Halo, Rekening Gendut!”. Jadi posisi ilustrasi ini sebagai penguat pesan dari artikel karena artikel tersebut menyoroti kepemilikan sejumlah rekening yang tidak wajar oleh beberapa perwira tinggi Polri dan diduga berasal dari hasil korupsi. 

Selain artikel “Halo ‘Rekening Gendut’” yang mengulas korupsi di lembaga penegak hukum (yudikatif), ilustrasi no 10 (Kompas 9/11/2011) sangat gamblang memperlihatkan praktik korupsi di lembaga negara lainya, yaitu korupsi di lembaga peradilan. Dengan judul artikel opini “Resentralisasi Pengadilan Tipikor?”, penulis mengulas masalah tentang ide resentralisasi pengadilan tipikor oleh sebagian kalangan karena banyaknya putusan bebas oleh pengadilan tipikor di daerah. Menelaah ilustrasinya yang menampilkan dua figur orang seperti figur seorang hakim dan figur seorang terdakwa yang saling berhadapan. Tangan kiri sang hakim sedang memegang palu dengan ekspresi akan membuat putusan pengadilan, tapi tangan kanannya sedang berjabat tangan dengan terdakwa di bawah meja. Gambar ini dapat dimaknai bahwa putusan hakim sangat dipengaruhi oleh terdakwa dan ada kerja sama antar keduanya. Kerja sama ini ditengarai sebagai praktik suap kepada hakim. Jadi, pratik suap yang memengaruhi putusan hakim, sehingga pesan dalam ilustrasi mengamplifikasi pesan dalam artikel sebab artikel tersebut tidak membahas masalah putusan bebas yang dilakukan hakim pengadilan tipikor di daerah yang dipengaruhi oleh praktik suap. Namun, ilustrasi ini menjadi penguat dari ilustrasi editorialnya (no 5) yang menampilkan transformasi palu pengadilan tipikor seperti sebuah penjara yang terbuka dan keluarlah dua figur orang yang bersayap dengan hidung seperti tikus yang membawa tas tertulis Rp. Ilustrasi editorial tersebut bermakna bahwa para koruptor sangat bergembira dengan putusan bebas yang diberikan oleh hakim pengadilan tipikor. Bila ilustrasi no 10 menggambarkan perilaku korup lembaga peradilan, ilustrasi no 7 menampilkan praktik korupsi pada birokrasi. Dengan judul artikel opini “Kabinet Kleptokrasi”, ilustrasi no 7 digambarkan dengan seseorang yang mengenakan jas dan memegang bendera putih sedang duduk. Namun, yang menarik adalah visualisasi aktivitas sang figur di bawah meja. Aktivitas tersebut menggambarkan perilaku korup menerima suap secara sembunyi-sembunyi yang diilustrasikan dengan boneka jari memegang sebuah kotak untuk mengisi amplop. Hubungan yang terbangun antara ilustrasi dengan teks artikel terlihat dibagian judul, isi/pembahasan khususnya pada ulasan “kasus-kasus korupsi dibeberapa kementerian, seperti di Kementerian Perhubungan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan kini manyangkut juga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.” Hubungan kuat terlihat pula di bagian penutup, apalagi judul artikel disebut pada bagian ini melalui pernyataan “Jika Presiden Yudhoyono tidak berusaha keras untuk menghentikan berbagai praktik korupsi di berbagai kementerian, bukan mustahil kabinet yang dipimpinnya akan dikenal sebagai ‘Kabinet Kleptokrasi’ karena diisi oleh para bawahan yang suka mencuri uang negara karena posisi politik mereka.” Dari hubungan ini dapat diketahui bahwa posisi ilustrasi dalam rubrik sebagai penguat artikelnya. 

Ilustrasi artikel opini lainnya (ilustrasi no 6, Kompas 12/11/2011) dengan judul artikel “Zaman Kleptolitikum” menjadi semacam sebuah konklusi atas fenomena mewabahnya korupsi yang menjangkiti peradaban Indonesia. Menurut penulis, kleptolitikum adalah “peradaban yang sesungguhnya tidak beradab akibat kleptomania yang menjangkiti kuasa politik dan hukum di negeri ini”. Dalam peradaban kelptolitikum, penampakannya kontradiksi. Walaupun tampak glamor, mewah, dan modern tapi pada dasarnya sama dengan peradaban zaman batu, dimana mata hati dan nurani menjadi membatu karena dipenuhi keserakahan, kerakusan, dan ketamakan, sehingga menghilangkan moral dan etika. Ulasan ini menjadi rujukan utama dari visualisasi ilustrasi yang menampilkan manusia purba mengenakan baju lurik dan berkaca mata hitam serta memikul karung uang. Ilustrasi memiliki hubungan dengan artikel sebagai penguat pesan untuk memberikan gambaran bahwa penampakan manusia pada zaman kleptolitikum adalah seperti pada ilustrasi. Visualisasi wajah figur orang seperti manusia purba di zaman batu. Sedangkan pakaian, kacamata hitam, dan karung berisi uang pecahan seratus ribu menandakan aksesoris yang digunakan oleh manusia modern. 


Struktur Representasi dan Ciri Informasi Visual Ilustrasi Opini 

Untuk melihat struktur representasi dan ciri visual ilustrasi opini korupsi yang dimuat Kompas selama periode 2011, peneliti menggunakan matriks representasional leksikal yang diadaptasi dari Neil Cohn (2007: 39). Adapun struktur representasinya dapat disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Matriks Representasional Leksikal Ilustrasi Opini Kompas


Melihat matriks di atas, mayoritas ilustrasi (63) masuk ke dalam representasi leksikal aktif dan hanya 11 ilustrasi yang masuk ke dalam representasi leksikal pasif. Hal ini berarti bahwa ilustrasi-ilustrasi dalam rubrik opini Kompas digambar dengan struktur representasi aktif khususnya ilustrasi editorial yang menempati dua level tertinggi matriks (polimorfik dan makro). Ada 8 ilustrasi editorial yang menempati level tertinggi aktif di panel divisional dari matriks representasi leksikal.

Ilustrasi-ilustrasi tersebut memanfaatkan panel untuk menyampaikan seluruh informasinya secara lengkap dan berbeda-beda antarpanel. Melalui penggunaan panel semacam ini, memudahkan khalayak untuk menangkap informasi yang disampaikan dalam ilustrasi. Delapan ilustrasi editorial yang masuk dalam panel divisional, semua informasinya ditampilkan minimal memanfaatkan dua panel dan paling banyak empat panel. Misalnya, ilustrasi editorial karya Jitet, memanfaatkan dua panel untuk menyampaikan informasinya, baik itu perubahan suasana, ekspresi wajah maupun gerak tubuh. Atau ilustrasi editorial karya Didie SW yang menyampaikan informasi lengkapnya melalui empat panel, bahkan dengan panel-panel tersebut bukan hanya menampilkan perubahan suasana, ekspresi wajah atau gerak tubuh, tetapi juga dapat membuat sebuah narasi waktu.

Gambar 5. Representasi Leksikal Aktif Polimorfik––Framing––Divisional
Sumber: capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
Kiri: Ilustrasi editorial karya Jitet. Kompas Edisi 26 Januari 2011 (diakses 26/02/2012)
Kanan: Ilustrasi editorial karya Didie SW. Kompas Edisi 12 Oktober 2011 (diakses 20/11/2011)


Level setingkat di bawah representasi aktif polimorfik adalah representasi aktif makro. Berbeda dengan 8 ilustrasi editorial sebelumnya yang masuk dalam kelompok framing––divisional, 30 ilustrasi di level makro ini masuk dalam panel basis atau dasar, yaitu menyampaikan seluruh informasi hanya dalam satu panel. Dari 30 ilustrasi, 7 diantaranya adalah ilustrasi artikel opini. Ilustrasi editorial pada gambar 6 (kiri) menunjukkan adanya dialog antarfigur orang, tetapi semua ditampilkan hanya dalam satu panel, berbeda dengan ilustrasi di gambar 5 (atas kiri) yang memisahkan teks dialog dan perubahan ekspresi wajah salah seorang figur dalam dua panel. Apalagi ilustrasi artikel opini (gambar 6, kanan) tanpa dialog, tapi menampilkan dua entitas aktifnya ke dalam satu panel.

Gambar 6. Representasi Leksikal Aktif Basis––Makro
Sumber:      capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0  
Kiri: Ilustrasi editorial karya Jitet. Kompas Edisi 3 Agustus 2011 (diakses 17/02/2012)
Kanan: Ilustrasi artikel opini karya Didie SW. Kompas Edisi 5 Desember 2011 (diakses 10/12/2011)


Basis–mono adalah level menengah dalam matriks representasi leksikal aktif. Seluruh ilustrasi-ilustrasi di level mono adalah ilustrasi artikel opini. Di level ini pula semua panel matriks terwakili, yakni 19 ilustrasi basis––mono, 1 ilustrasi framing––divisional––mono, dan 1 ilustrasi framing––inklusioner––mono.

Gambar 7. Representasi Leksikal Aktif Basis––Mono,
Framing––Divisional,  Framing––Inklusioner
Sumber: capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
Kiri: Ilustrasi artikel opini karya Didie SW. Kompas Edisi 20 Januari 2011 (diakses 26/02/2012)
Tengah: Ilustrasi artikel opini karya Handining. Kompas Edisi 30 Mei 2011 (diakses 24/02/2012)
Kanan: Ilustrasi artikel opini karya Jitet. Kompas Edisi 24 Januari 2011 (diakses 26/02/2011)

Panel pertama (basis––mono), dalam satu panel hanya menggambarkan sebuah entitas tunggal. Ilustrasi Gayus Tambunan yang memakai jubah (gambar 7, kiri) merupakan contoh representasi leksikal aktif yang menggambarkan sebuah entitas tungal tanpa ada objek aktif lainnya. Selanjutnya, bidang framing––divisional, yakni membagi satu gambar menjadi bagian-bagian konstan. Ikon wajah Nunun Nurbaeti yang terbagi tiga (gambar 7, tengah), sebenarnya adalah satu kesatuan wajah figur Nunun. Namun, adanya jeruji besi menjadi bingkai yang membagi informasi (wajah) ke dalam tiga bagian, tetapi masih satu informasi yang konstan, yakni Nunun Nurbaeti. Ilustrasi ini menjadi contoh framing––divisional. Terakhir, panel framing––inklusioner. Inklusioner adalah panel menggunakan frame dalam frame. Gambar 7 (kanan) adalah contoh untuk bidang ini. Adanya tembok sebagai personifikasi visual, maka nilai informasi terletak pada tembok itu dan kualitas informasinya berada pada siluet mata dalam tembok, kotak yang memiliki jeruji yang membentuk frame paling kecil di dalam frame tembok dan frame ilustrasi keseluruhan.

Level mikro adalah level terendah dari matriks representasi leksikal aktif, karena informasi yang disampaikan kurang dari satu kesatuan dan sering dihadirkan dalam bentuk akhir close up. Di level ini terdapat 4 ilustrasi dan semuanya adalah ilustrasi artikel. Ilustrasi artikel opini KED160911168IAJT karya Jitet adalah salah contohnya. Ilustrasi tersebut menggambarkan close up tangan yang memegang alat tulis dengan beberapa tumpuk kertas suara di bawahnya. Penggambaran semacam ini membuat infromasi figur menjadi berukurang dan khalayak tidak tahu siapa figur tersebut.

Gambar 8. Representasi Leksikal Aktif Basis––Mikro
Sumber:   capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0  Ilustrasi artikel opini karya Jiet. Kompas Edisi 16 September 2011 (diakses 26/02/2012)


Level paling terendah dari matriks representasi adalah level pasif panel amorfik. Gambar dalam panel amorfik tidak memiliki entitas aktif apa pun, misalnya sebuah pemandangan atau lingkungan. Terdapat 11 ilustrasi aktikel opini yang masuk dalam level ini, yakni ilustrasi yang hanya menggambarkan sebuah benda 
mati atau tumbuhan. Misalnya seperti ilustrasi-ilustrasi berikut:

 
Gambar 9. Representasi Leksikal Pasif (Amorfik––Basis)
Sumber:      capture screen dari situs http://epaper.kompas.com/epaperkompas.php?v=1.0
Kiri: Ilustrasi artikel opini karya Didie SW. Kompas Edisi 8 Agustus 2011 (diakses 17/02/2012)
Kanan: Ilustrasi artikel opini karya Didie SW. Kompas Edisi 23 Desember 2011 (diakses 25/12/2012)


Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa visualisasi ilustrasi dengan struktur representasi leksikal aktif dengan level polimorfik atau makro dapat memudahkan khalayak untuk menerima pesan yang diterima melalui ilustrasi karena kuantitas dan kualitas informasinya lengkap. Dan semua ilustrasi editorial untuk opini korupsi yang diterbitkan Kompas selama periode 2011 termasuk dalam struktur representasi aktif pada dua level tertinggi dari matriks representasi ini. Namun, terdapat juga beberapa ilustrasi dengan struktur representasi aktif di level terendah (mikro). Meskipun demikian, level mikro masih lebih baik dari pada struktur representasi leksikal pasif (amorfik) yang membutuhkan perhatian khusus untuk memahami pesan yang dibawa oleh ilustrasi.


Pandangan Khalayak tentang Korupsi

Perbincangan pertama adalah meminta pandangan dari sebelas orang khalayak pelibat tentang korupsi sebagai tanggapan setelah teks (ilustrasi) diperlihatkan kepada mereka. Teks yang diperbincangkan sama dengan ilustrasi (gambar 4) yang dikaji maknanya pada bagian sebelumnya untuk melihat bagaimana wacana yang diproduksi media dikonsumsi khalayak berdasarkan makna yang mereka berikan kepada teks. Para pelibat dikodekan dengan PD untuk pelibat diskusi dan PW untuk pelibat wawancara. Sebagai panduan, dikemukakan pertanyaan berikut: Bagaimana pendapat Anda tentang korupsi dalam ilustrasi? Apa ciri visual dari pendapat Anda?

Dari hasil perbincangan, baik melalui diskusi kelompok fokus maupun wawancara dengan para pelibat, ditemukan beberapa wacana yang terbangun mengenai pandangan mereka tentang korupsi yang ditampilkan dalam ilustrasi. Secara ringkas, wacana yang terbangun dalam perbincangan seperti informasi grafis berikut:

Gambar 10. Wacana yang terbangun tentang korupsi


Berdasarkan gambar di atas, ada empat wacana yang terbangun dari hasil interpretasi pelibat terhadap ilustrasi selama perbincangan, yakni wacana mengenai fakta korupsi, tempat korupsi, perilaku korupsi, dan wacana tentang dampak korupsi. Fakta korupsi terwacanakan dari tiga orang pelibat. Misalnya, wacana fakta korupsi dari pernyataan PD05 “pada era demokrasi perilaku korupsi semakin merajalela”, “korupsi begitu besar” (PD06), dan “korupsi yang sudah melekat lama” (PD07). Wacana tersebut lahir dari objek visual yang sama, yaitu bendera. Pernyataan PD05 menyandingkan wacana fakta korupsi dengan wacana politik, di mana semakin merajalelanya korupsi justru terjadi di era demokrasi. Bila korupsi yang merajalela tidak memiliki ukuran pasti, PD06 meberikan ukuran pasti bagi korupsi, yaitu korupsi yang tengah terjadi begitu bersar. Korupsi yang merajalela dan begitu besar serta sudah melekat lama mengindikasikan bahwa secara sosial korupsi telah membudaya.

Berdasarkan teori wacana Laclau dan Mouffe, hal ini disebut dengan jalinan kesepadanan, yaitu wacana mengacu pada investasi penanda utama bendera (sebagai teks) dengan makna (yang diberikan pelibat). Semua wacana yang terbangun, fokus pengamatannya mengarah pada objek bendera dalam ilustrasi. Wacana-wacana ini disebut Fairclough dengan antarkewacanaan. Dari campuran antarkewacanaan kita dapat melihat unsur-unsur lain seperti lama peristiwa korupsi terjadi atau materi yang dikorupsi (misalnya, “…pemerintah Indonesia itu mata duitan…suka memakan uang negaranya sendiri” PD08). Selain wacana fakta korupsi, wacana lain yang terbangun dan mendominasi wacana-wacana yang ada adalah wacana dampak korupsi.

Dari pernyataan PD01 dapat diketahui bahwa objek visual bendera yang kusam dan rusak dengan tiga tambalan tertulis Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif diartikulasikan sebagai dampak korupsi yang melibatkan tiga pilar demokrasi yang menciptakan ketidakpercayaan dan penghargaan terhadap lembaga-lembaga tersebut. Artikulasi objek visual yang sama dan lebih ekstrim dikemukakan PD02, di mana rakyat Indonesia semakin kacau karena pemerintah yang tidak mempedulikan rakyatnya. Atau PD03 mengartikulasikannya dengan semakin bobroknya Indonesia karena petingginya (di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) gemar melakukan korupsi. Sehingga korupsi telah “menghancurkan” seperti dalam pernyataan PD04. Tiga lembaga demokrasi menjadi penanda lahirnya wacana tempat orang-orang melakukan koruspsi. 

Uraian di atas menunjukkan bahwa ilustrasi menghasilkan wacana yang memiliki antarkewacanaan tinggi. Antarkewacanaan yang tinggi ditandai oleh adanya perubahan dalam masyarakat (Jorgensen dan Phillips, 200: 151). Dari hasil analsis dapat disimpulkan bahwa wacana dalam ilustrasi menciptakan perubahan di masyarakat. Wacana fakta korupsi dan dampak korupsi menjadi sebuah bukti bahwa peristiwa korupsi yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan pengetahuan dan kesadaran masyarakat bahwa korupsi dapat menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara. 


Model Konstruksi Wacana Visual 

Berdasarkan ulasan di atas, dapat dilihat cara ilustrator menggunakan dan mengolah sumber daya semiotik dalam sebuah ilustrasi untuk membawa pesan media yang ditujukan kepada khalayak, baik melalui tata ungkap visual maupun tata ungkap verbal. Kedua tata ungkap diolah sedemikian rupa agar pesan yang dibawa mudah dimengerti dan dipahami khalayak. Dari makna yang terungkap, ilustrasi dapat memiliki hubungan dengan dengan teks artikel yang terdapat dalam rubrik opini, tetapi juga dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada teks manapun. Ada tidaknya relasi yang tercipta antara teks visual (ilustrasi) dengan teks verbal (artikel) dapat menentukan posisi ilustrasi dalam rubrik. Setidaknya ada dua karakteristik posisi yang ditemukan, yakni posisi dependen (bergantung) dan posisi independen (mandiri). Pada posisi dependen, ilustrasi memiliki hubungan dengan teks artikel, baik hubungan langsung dengan bagian judul, lead, pengantar, isi, maupun bagian penutup artikel atau hubungan terjalin hanya melalui salah satu bagian saja. Sebaliknya, posisi independen, ilustrasi tidak memiliki hubungan sama sekali dengan teks artikel, sehingga pesannya dalam rubrik menjadi mandiri. Nilai pesan dalam ilustrasi ditentukan oleh kuantitas dan kualitas informasi yang ditampilkan, maka pemahaman struktur representasi menjadi penting. Disadari atau tidak, pendayagunaan sumber daya semiotik menentukan struktur representasi leksikal yang digunakan untuk menyampaikan informasi. Para ilustrator Kompas cenderung menggunakan representasi leksikal aktif untuk pesan visualnya khususnya pesan dalam ilustrasi editorial. Akan tetapi, representasi leksikal pasif juga digunakan ilustrator untuk menyampaikan pesan khususnya pesan pada ilustrasi artikel opini.

Pada tingkat wacana, terjadi perbedaan ditingkat produksi dan tingkat konsumsi. Pada tingkat produksi, wacana visual ditentukan media (melalui ilustrator) berdasarkan konteks situasi sosiokultural yang sedang terjadi dimasyarakat dan penentuan elemen-elemen visual yang ditampilkan dalam ilustrasi. Sedangkan pada tingkat konsumsi, khalayak lebih terfokus pada elemen visual apa yang ditampilkan dan bagaimana ia ditampilkan. Dalam penelitian ditemukan bahwa khalayak mengkonstruksi wacana yang ditampilkan dalam visual ilustrasi melalui identifikasi objek visual yang menarik perhatiannya. Kecenderungan pengidentifikasian objek lebih banyak dilakukan khalayak pada objek yang memiliki ciri khusus dalam komposisi visual yang ditampilkan, sehingga secara tata bahasa visual, makna yang dihasilkan dari proses identifikasi tersebut adalah makna komposisional. Proses pengonstruksian wacana visual ini dapat digambarkan melalui model di bawah ini:

 
Gambar 11. Model Proses Konstruksi Wacana Visual

Anak panah dari konteks situasi dan sumber daya semiotik menunjukkan bahwa teks visual dihasilkan dari penafsiran media massa terhadap fakta sosial yang sedang terjadi dan mewujudkannya melalui penggunaan sumber daya semiotik. Pengolahan dan pegelolaan sumber daya semiotik dapat dilihat dari penggunaan dan penyusunan tanda-tanda dalam teks visual yang dijadikan sebagai alat pembawa pesan. Penggunaan tanda-tanda tersebut tidak terlepas dari pengetahuan khalayak tentang tanda itu. Menurut Hodge dan Kress (1988: 18) tanda-tanda tidak dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk konkrit hubungan sosial (van Leeuwen, 2005: 3). Dalam penelitian ini, teks visual yang dimaksud adalah ilustrasi dalam rubrik opini Kompas, yaitu ilustrasi editorial dan ilustrasi artikel opini. Sebagai hasil interpretasi Kompas terhadap fakta yang terjadi di masyarakat, ilustrasi menjadi metafora visual dari realitas yang ada dibaliknya. Secara khusus diungkapkan Sunarto (2005: 213), kemunculan metafora dan sikap emotif pada kartun editorial terlihat dari peranannya merelasikan situasi politik dan nilai budaya, kerena kartun dilahirkan dari situasi sosial, mewakili kelompok politik untuk menyampaikan aspirasinya. Di mana sistem nilai yang berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu menjadi pertimbangan aspirasi itu disampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa metafora dan sikap emotif menjadi kekuatan ilustrasi sebagai teks visual. 

Ilustrasi adalah bahasa yang digunakan media massa untuk mengkomunikasikan pesan kepada khalayak sasaran melalui visual atau dapat disebut sebagai bahasa visual media massa. Melalui bahasa visual ini media berkomunikasi dengan khalayak. Bagi Kress dan van Leeuwen (2006: 41-42), agar dapat berfungsi sebagai sistem penuh komunikasi, visual, seperti semua modus semiotik harus melayani kebutuhan representasional dan persyaratan komunikasional. Dengan mengadopsi metafungsi dari Halliday untuk desain visual, keduanya berpendapat bahwa bahasa visual mempunyai metafungsi ideasional, interpersonal, dan teks. Metafungsi ideasional, elemen-elemen dalam ilustrasi sebagai modus semiotik harus mampu mewakili aspek dunia seperti yang dialami oleh manusia. Dari metafungsi ideasional kita dapat mengamati struktur naratif visual yang ditampilkan dan struktur konseptual antara objek yang satu dengan objek lainya serta objek dengan viewer (khalayak). Dalam metafungsi interpersonal, modus apapun dalam ilustrasi harus mampu untuk mewakili hubungan sosial tertentu antara produsen tanda (media), viewer (khalayak), dan objek yang diwakili. Sedangkan metafungsi teks, setiap modus dalam ilustrasi harus memiliki kapasitas membentuk teks, keterpaduan tanda-tanda kompleks baik secara internal satu sama lain maupun eksternal dengan konteks dan untuk apa mereka diproduksi. Kress dan van Leeuwen (2006: 43) mengungkapkan, pengaturan komposisi yang berbeda memungkinkan terwujudnya makna teks yang berbeda. Gambar dalam tata bahasa visual berfungsi sebagai titik tolak atau jangkar untuk pesan. Dari ketiga metafungsi tersebut, maka teks visual ilustrasi menyediakan tiga makna yang dapat digunakan untuk memahami pesan dibalik tanda-tanda dalam ilustrasi, yakni makna representasional, makna interaktif, dan makna komposisi. Ketiga makna ini berelasi dengan konteks situasi dan sumber daya semiotik. 

Panel makro adalah level satu tingkat di bawah level polimorfik. Pada level makro representasi peristiwa mengandung lebih dari satu aktivitas dengan ciri visualnya digambarkan secara long shot. Pada struktur aktif––basis––makro, semua elemen ditampilkan dalam satu panel (lihat Gambar 6). Struktur aktif––framing––divisional––makro menampilkan satu kesatuan aktivitas dalam dua panel. sedangkan inklusioner membuat frame secara close up pada bagian kepala objek orang dan objek pendukungnya. Di bawah panel makro adalah panel mono yang hanya menggambarkan sebuah entitas tunggal dengan ciri visualnya digambar long shot atau medium shot. Struktur aktif––basis––mono, objek orang digambar secara tunggal dalam satu panel. Satu informasi, misalnya, close up wajah yang dibagi ke dalam beberapa panel adalah contoh dari struktur aktif––framing––divisional––mono. Pada struktur aktif––framing––inklusioner––mono, terdapat sebuah frame di bagian tertentu, misalnya, bagian mata objek orang untuk menegaskan informasi di bagian itu (lihat Gambar 7). Level terendah dari struktur representasi leksikal aktif adalah panel mikro. Peristiwa dalam panel ini tampil kurang dari satu kesatuan informasi dan kadang ditampilkan dalam bentuk pengakhiran. Ciri visualnya objek aktif ditampilkan dengan cara extreme close up. Struktur aktif––basis––mikro menampilkan informasi dalam satu panel, framing––divisional menampilkan dalam dua panel, dan inklusioner menampilkan informasinya dalam satu panel, tetapi informasi pentingnya terdapat frame (Gambar 8). Dengan cara penyampaian pesan hampir sama dengan struktur representasi leksikal aktif, struktur pasif menampilkan gambar yang tidak memiliki entitas aktif apapun. Misalnya, gambar suasana lingkungan, benda mati, atau tumbuh-tumbuhan (lihat Gambar 9).

Melalui struktur representasi ini, wacana (visual) media massa dihadapkan dengan khalayak untuk dikonsumsi sebagai pratik kewacanaan sekaligus praktik sosial. Wacana visual yang terbangun dari khalayak dipengaruhi oleh wacana yang dibangun oleh teks melalui representasi visual dengan konteks situasi tertentu dari sumber daya semiotik yang digunakan. Cara mengidentifikasi tanda dan memaknainya menetukan wacana apa yang akan terbangun dari interpretasi khalayak terhadap teks. Kress dan van Leeuwen menyatakan bahwa perbedaan komposisi berpotensi terciptanya makna teks berbeda, tapi pada kenyataannya, ketika khalayak mengonsumsi teks visual, cara mengidentifikasi objek memegang peran penting atas perbedaan terciptanya makna teks. Faktor pengetahuan dan pengalaman khalayak juga menentukan perbedaan interpretasinya terhadap teks. Namun, kemampuan objek merepresentasikan peristiwa yang pernah dialami manusia (metafungsi ideasional) dapat mengurangi tajamnya perbedaan interpretasi. Hal ini terbukti saat peneliti mengumpulkan data dari khalayak melalui diskusi kelompok fokus dan wawancara. 

Dengan pelibat yang heterogen dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dapat mewujudkan hasil interpretasi yang sama terhadap objek yang sama, walaupun dengan redaksional yang berbeda. Meskipun demikian, tidak jarang juga ada objek yang sama diinterpretasi secara berbeda dan ada objek yang berbeda menghasilkan interpretasi yang sama. Dari kenyataan tersebut, perbedaan atau kesamaan hasil interpretasi dipengaruhi oleh objek mana yang terlebih dahulu diidentifikasi dan diinterpretasi oleh khalayak. Bila wacana visual menjadi pengetahuan masing-masing individu dan terkonstruksi secara sosial, maka efek yang ditimbulkan dari wacana adalah perubahan struktur pengetahuan masyarakat dan pada akhirnya dapat menciptakan sumber daya semiotik yang baru atau dalam pandangan van Leeuwen disebut inovasi semiotik. 


PENUTUP 

Paparan di atas memberi pemahaman bahwa makna ilustrasi yang dihasilkan dari interpretasi diperoleh melalui makna representasional, makna interaktif, dan makna komposisi dengan membaca tata ungkap verbal maupun visual dalam teks visual ilustrasi. Secara umum, relasi antarteks (visual dan verbal) cenderung saling berhubungan dengan posisi teks visual sebagai pelengkap, penguat, dan pendukung teks artikel. Informasi yang ditampilkan dalam ilustrasi lebih banyak menggunakan struktur representasi leksikal (visual) aktif khususnya ilustrasi editorial dibanding beberapa ilustrasi artikel opini yang menggunakan struktur representasi leksikal pasif. Untuk struktur aktif, panel polimorfik menempati level tertinggi dalam struktur. Ada beberapa ilustrasi yang menggunakan panel ini, terutama panel framing––divisional yang merepresentasikan peristiwa ke dalam beberapa panel gambar. Selain panel polimorfik, sebagian besar ilustrasi editorial menggunakan panel makro, sebagian besar ilustrasi artikel opini menggunakan panel mono dan mikro. Sedangkan hanya sebagian kecil dari ilustrasi artikel opini yang menggunakan panel amorfik dalam struktur representasi leksikal pasif. Penggunaan struktur tersebut menentukan kuantitas dan kualitas informasi yang disampaikan. Cara khalayak melakukan interpretasi terhadap teks visual ditentukan oleh tanda awal yang ia identifikasi. Tanda yang memiliki ciri khusus atau yang menarik perhatian dalam komposisi visual cenderung menjadi tanda yang digunakan khlayak untuk membangun wacananya. Selain itu, faktor pengetahuan dan pengalaman khalayak juga turut memengaruhi hasil interpretasi mereka tehadap teks serta relasi yang mereka bangun di dalam teks pada saat teks itu dikonsumsi.





DAFTAR PUSTAKA 

Aditia, P. 2008. Ilustrasi Cerpen Kompas Periode 2002-2007: Ilustrasi Cerpen Isa Perkasa, Tisna Sanjaya, Nyoman Erawan, dan FX Harsono. Tesis Program Studi Magister Desain Institut Teknologi Bandung. Bandung: Program Studi Magister Desain FSRD ITB. 

Barbatsis, G. Reception Theory, 271-293 dalam Smith, K., Moriarty, S., Barbatsis, G., dan Kenney, K. Eds, Handbook of Visual Communication: Theory, Method, and Media. London: LEA Publishers. 

Cohn, N. 2007. A Visual Lexicon. The Public Journal of Semiotics. Dari  http://www.emaki.net/essays/visuallexicon.pdf, diakses pada 20 Maret 2011. 

Danesi, M.. 2009. Dictionary of Media and Communications. New York: M.E. Sharpe. 

Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Research. (terj) Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi. Jakarta: Pustaka Pelajar. 

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. 

Jorgensen, M. dan Philips, L. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: Sage Publications. 

Kress, G. dan van Leeuwen, T. 2006. Reading Images : The Grammar of Visual Design Second Edition. New York: Routledge.

Kusmiati R., A. 1999. Teori Dasar Desain Komunikasi Visual. Jakarta: Djambatan. 

Rivers, W.L., Jensen, J.W., dan Peterson, T. 2008. Media dan Masyarakat Modern (terj) Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Kencana.

Rose, G. 2001. Visual Methodologies: An Introduction to the Interpretation of Visual Materials. London: Sage Publications. 

Santoso, A. 2008. Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Jurnal Bahasa Dan Seni, Nomor 1, Februari 2008, halaman 2-15. 

Smith, K., Moriarty, S., Barbatsis, G., dan Kenney, K. Eds, Handbook of Visual Communication: Theory, Method, and Media. London: LEA Publishers. 

Sobur, A. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Rosda. 

Sumadiria, AS.H. 2009. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Menulis & Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 

Sunarto, P. 2005. Metafora Visual Kartun Editorial Pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957. Disertasi Program Studi Ilmu Seni Rupa dan Desain. Bandung: Program Studi Magister Desain FSRD ITB. 

Tabrani, P. 2009. Bahasa Rupa. Bandung: Kelir.

Triandjojo, I. 2008. Semiotika Iklan Mobil Di Media Cetak Indonesia. Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang: Program Pascasarjana UNDIP.

Van Leeuwen, T. 2005. Introducing Social Semiotics. New York: Routledge.

Vivian, J. 2008. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan (terj) Tri Wibowo BS. Jakarta: Kencana.